Amanat Rakyat Jangan Dipermainkan

Menawan Isu Penundaan Pemilu dan 3 Periode Jabatan Presiden

Oleh: Renaldo Garedja, S.IP
Mahasiswa Tata kelola Pemilu Unsrat

INDONESIA adalah salah satu negara yang menganut sistem demokrasi, sehingga penyelenggaraan Pemilu adalah hal yang penting untuk dilaksanakan. Hal itu termuat dalam pasal 1 ayat (2) UUD 1945 “kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar”. 

Pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat. Amanat rakyat di delegasikan kesetiap individu-kelompok untuk mengisi setiap jabatan politik (eksekutif­-legislatif) sehingga disana mereka akan merumuskan kebijakan-kebijakan untuk kesejahteraan rakyat.

Dalam perjalanannya, Indonesia cukup memiliki pengalaman dalam melaksanakan Pemilu. Terhitung sejak pertama kali Pemilu digelar padan tahun 1955 hingga 2019, Indonesia sudah 11 kali melaksanakan Pemilu dan dalam pelaksanaanya juga, Pemilu mengenal dua pemilihan; menurut Undang-undang 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menyebutkan, Pertama, Pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden.

Kedua, Pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi (DPRD Provinsi), serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota (DPRD Kabupaten/Kota) dengan skala periode 5 tahun sekali. Yang pada pelaksanaan di tahun 2019 lalu digelar secara bersamaan dan serentak. Tujuannya untuk memperkuat sistem pemerintahan presidensial.

Melaksanakan Pemilihan Umum (Pemilu) secara reguler merupakan syarat mutlak bagi negara-negara yang menganut sistem demokrasi. Termasuk dapat membatasi kekuasaan.

Menurut teori demokrasi minimalis (Schumpertarian), Pemilu merupakan sebuah arena yang mewadahi kompetisi (kontestan) antara aktor politik untuk meraih kekuasaan; partisipasi politik rakyat untuk menentukan pilihan; liberalisasi hak-hak sipil dan politik warga negara.

Salah satu fungsinya, Pemilu merupakan sarana penggantian pemimpin atau rotasi kekuasaan secara konstitusional. Melalui Pemilu, pemerintahan yang aspiratif akan dipercaya rakyat untuk memimpin kembali (public trust) dan sebaliknya jika rakyat tidak percaya maka pemerintahan itu akan berakhir dan diganti dengan pemerintahan baru yang di dukung oleh rakyat.

Akal-akalan Isu Penundaan Pemilu

Beberapa waktu yang lalu, Pemerintah bersama dengan DPR Komisi II serta Penyelenggara Pemilu (KPU, Bawaslu, DKPP) sudah menyepakati penentuan hari pemilihan dan pemungutan suara. Opsi yang dipilih adalah hari rabu, tanggal 14 febuari tahun 2024. Tentunya, pengambilan keputusan ini bukan asal-asalan.

Membutuhkan waktu yang cukup panjang dalam pengambilan keputusan tersebut. Adu argumentasi pun tak terhindarkan, demi dan untuk pelaksanaan pemilu dapat berjalan dengan sukses. mengingat sebelum hari pemilihan dan pemungutan suara nanti ada proses panjang yang tidak bisa dinegasikan.

Pasca diputuskan jadwal hari pemilihan dan pemungutan suara Pemilu tahun 2024, terhembus isu penundaan pemilu dari salah satu pembantu presiden, tak lain adalah menteri Investasi Bahlil Lahaladia.

Dirinya mengklaim, para pengusaha menginginkan pemilu ditunda. Pun, stabilitas politik dijadikan alasan untuk menumbuhkan ekonomi pasca pandemi covid-19. Disusul ketua umum Partai Kesatuan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar yang mengusulkan pelaksanaan Pemilu ditunda paling lama 2 tahun dengan alasan yang kurang lebih sama yaitu recovery ekonomi nasional pasca terpaan ganasnya covid-19.

Tokoh elit partai lainya seperti Airlangga Hartanto dari Partai Golkar serta Zulkifli Hasan dari Partai Pan. Tak luput dalam arak-arakan isu penundaan Pemilu juga Menko bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan yang dijuluki menteri segala urusan itu mengklaim bahwa hasil big data  setidaknya ada 110 juta penduduk Indonesia yang menyatakan setuju dengan penundaan pemilu.

Data ini bisa dikatakan fiktif serta alasan-alasan yang tidak logis. Sungguh hal yang terlalu dini untuk mengalami post power syndrom. Sifat ketidaknegarawanan yang sudah dimunculkan di awal tahun ini oleh elit parpol, tentu bisa menjadi refrensi untuk pemilih (voters) untuk jangan lagi memilih calon atau figur-figur politik yang seperti ini.

Orang-orang yang seperti ini tidak bisa memikirkan kemaslahatan orang banyak lebih-lebih hanya kepentingan pribadi dan koleganya saja. Bila perlu catat nama dan partainya agar kelak bangsa ini terhindar dari penyakit akut yang menggerogoti demokrasi.

Menurut hasil survei dari lembaga Survei Indonesia Polling Statation (IPS) pada maret lalu, mengungkapkan sebanyak 74,6% publik menolak penundaan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan Presiden Joko Widodo. Survei ini dilakukan di 34 provinsi, terhadap 1.220 responden.

Bersamaan dengan itu, jajak pendapat Litbang Kompas di 34 provinsi pada bulan maret,  mengungkapkan sebanyak 62,3%  responden menyatakan setuju Pemilu tetap digelar 14 februari 2024. Secara terang menderang hasil survei ini sudah dapat mematahkan argumentasi invalid dari tokoh-tokoh politik di atas. Nyatanya meraka itu sekelompok oligarki yang memanfaatkan ruang demokrasi sebagai sarana menyesatkan opini publik.

Hantu Bagi Demokrasi

Akhir-akhir ini telah muncul pula gerakan-gerakan yang mengisyaratkan dukungan kepada Presiden Jokowi untuk dapat kembali memimpin Indonesia satu periode lagi. Salah satu diantaranya adalah Koalisi Bersama Rakyat (Kobar). Konon, koalisi ini telah mendeklarisikan dengan menghimpun berbagai harapan masyarakat untuk meminta Presiden Jokowi kembali memimpin sekali lagi.

Terakhir, Apdesi pun turut tergiring dalam gerakan tersebut. Alasannya sama, bahwa rakyat masih ingin Jokowi memimpin sekali lagi. Tentunya ini gerakan yang nantinya bermuara pada pelecehan Konstitusi UUD 1945. Pada pasalnya yang ke 7 mempertergas, masa jabatan Presiden hanya bisa diperpanjang satu kali dan masing-masing periodenya 5 tahun. Jelas bahwa Presiden hanya diberikan 10 tahun untuk berkuasa.

Di lain sisi, mereka ini adalah hantu bagi demokrasi, sebab ini akan melanggar amanat Reformasi. Tentu masih hangat dibenak kita tentang kepemimpinan Orde Baru.

Pengalaman ini sekiranya dapat menggunggah pikiran akal sehat kita untuk kembali merefleksikan apa yang menjadi tuntutan Reformasi dikala itu. Kita perlu bersikap tegas atas aksi-aksi yang ingin mencedarai konstitusi oleh oknum yang mencari keuntungan dibalik semua ini.

Mengutip pernyataan dari pengamat politik Sulawesi Utara, Dr. Ferry Liando mengatakan bahwa jika Pemilu benar-benar ditunda, konsekuensi terburuk Indonesia tidak memiliki Presiden mulai oktober 2024. Menurutnya, DPR dan DPD dipilih satu paket bersama pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, sehingga otomatis terjadi kekosongan jabatan di lembaga DPR, DPD dan DPRD.

Pasal 8 UUD 1945 menuliskan jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatanya maka pelaksana tugas kepresidenan adalah menteri luar negeri, menteri dalam negeri menteri pertahanan secara bersama-sama.

Kemudian selambat-lambatnya 30 hari setelah itu, MPR menyelenggarakan sidang memilih Presiden dan Wakil Presiden dari dua pasangan calon yang diusulkan partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calonnya meraih suara terbanyak yang pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya.

Yang menjadi masalah adalah MPR dan Menteri-menteri bakal berakhir masa jabatan secara bersamaan dengan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Hal ini juga dapat berimbas pada pelaksanaan pemilihan kepala daerah pada bulan november 2024.

Sebab jika pemilu ditunda, maka dalam pencalonan pemilihan Kepala daerah, menggunakan hasil pemilu dari mana? Karena dalam UU no 10 tahun 2016 menyatakan syarat pencalonan kepala daerah adalah dari partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki kursi di parlemen.

Jika pemilu ditunda maka siapa saja yang berada di parlemen itu? Pun, jika pikada juga tertunda maka hasilnya akan mengganggu tata kelola pemerintahan dan negara mengalami caos.

Sudah banyak pengalaman negara-negara di dunia mengalami nasib sial seperti ini. Pemilu 2024 tidak dapat ditawar lagi, harus berjalan sesuai dengan mekanisme dan prosedur yang telah diamanatkan oleh konstitusi dan undang-undang. Penundaan Pemilu dan 3 Periode Presiden hanya menghasilkan mimpi buruk bagi keberlangsungan demokrasi di negeri ini.