MANGROVE adalah individu jenis tumbuhan maupun komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah pasang surut. Hutan mangrove sering disebut hutan bakau atau hutan payau. Dinamakan hutan bakau oleh karena sebagian besar vegetasinya didominasi oleh jenis bakau, dan disebut hutan payau karena hutannya tumbuh di atas tanah yang selalu tergenang oleh air payau.
Arti mangrove dalam ekologi tumbuhan digunakan untuk semak dan pohon yang tumbuh di daerah intertidal dan subtidal dangkal di rawa pasang tropika dan subtropika. Tumbuhan ini selalu hijau dan terdiri dari bermacam-macam campuran apa yang mempunyai nilai ekonomis baik untuk kepentingan rumah tangga (rumah, perabot) dan industri (pakan ternak, kertas, arang).
Kerusakan hutan mangrove disebabkan dua hal yaitu aktivitas manusia dan faktor alam (Anonim, 2000). Aktifitas manusia yang menyebabkan Kerusakan hutan mangrove adalah perambahan hutan mangrove secara besar-besaran untuk pembuatan arang, kayu bakar, dan bahan bangunan, serta penguasaan lahan oleh masyarakat, pembukaan lahan untuk pertambakan ikan dan garam, pemukiman, pertanian, pertambangan, dan perindustrian. Pembangunan tambak di areal mangrove sebenarnya bukan tanpa masalah (Anonim, 2007 b).
Ada beberapa masalah yang dihadapi para pembuka lahan, seperti pengasaman tanah, tidak bercampurnya tanah, serta berkurangnya anakan untuk keperluaan perkembangan ikan. Dalam banyak kasus pestisida dan antibiotika juga sering kali digunakan bahkan untuk tambak tradisional. Tambak tidak selalu berarti hilangnya mangrove hal ini dapat dilihat pada pola tambak tumpang sari yang di praktekkan di beberapa tempat di Jawa. Pada pola ini mangrove di tanam di bagian tengah tambak. Sistem ini sangat baik untuk diterapkan karena selain melindungi dan mempertahankan Konservasi Hutan Mangrove Sebagai Ekowisata (Edi Mulyadi, Okik Hendriyanto, Nur Fitriani 54 mangrove, juga dapat dimanfaatkan oleh burung air. (Anonim, 2009a)
Berdasarkan fakta dari media elektronik, terjadi perombakan mangrove karena kepentingan pembangunan pabrik. Menurut informasi yang dihimpun, ada seratus hektar lebih kawasan hutan mangrove yang sedang direklamasi dalam upaya tahapan proyek pematangan lahan PT LCI yang akan berlangsung hingga beberapa bulan ke depan. Pembabatan dan alih fungsi menjadi kawasan industri terus menghilangkan keberadaan hutan bakau atau mangrove di Kota Cilegon. Seperti hutan mangrove di kawasan pesisir Tanjung Peni Kecamatan Citangkil dan Lelean, Kecamatan Grogol yang tengah dilakukan oleh perusahaan skala raksasa yakni PT Lotte Chemical Indonesia (LCI) sejak beberapa bulan terakhir. Proyek “Pemusnahan” Hutan Mangrove Demi Pabrik Kimia Lotte Di Cilegon, Sesuai Aturankah?
Aktivitas perusakan mangrove, alih fungi dan sanksi pelanggaran tata ruang bukan hal baru untuk menyatakan bahwa pesisir merupakan satu susunan kompleks dari berbagai kegiatan dan ekosistem. Berdasar hal ini, maka sekali lagi mangrove merupakan satu hal yang tidak dapat dilupakan karena dalam konteks pengelolaan tata ruang, maka kawasan mangrove termasuk pula didalamnya.
Berdasar hal itu, di tingkat pelaksanaannya, tata ruang diatur berdasar Undang-undang No 26 Tahun 2006 tentang pengelolaan tata ruang dan Undang-undang 27/2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara terpadu. Keduanya adalah peraturan yang berbeda tetapi dengan roh yang sama. Perbedaan hanya pada tataran wilayah pengelolaan dengan lingkup UU 27/2007 terbatas pada wilayah pesisir dan pulau kecil. Di tingkat daerah keduanya adalah dwitunggal pengelolaan pesisir berupa Rencana Tata Ruang Daerah dan Rencana Strategis-Rencana Zonasi Pesisir dan Pulau – Pulau Kecil.
Feka & Ajonina, 2011; Suharti et al., (2016) dalam Mega Lugina, Indartik, & Mirna Aulia Pribadi (2019), Permasalahan yang sekarang terjadi di beberapa daerah adalah fungsi sosial ekonomi dan fungsi ekologis hutan mangrove tidak seimbang, di mana di satu tempat terjadi eksploitasi hutan mangrove secara besar-besaran tanpa memperdulikan fungsi ekologisnya dan di sisi lain hutan mangrove tidak dikelola sehingga tidak memberikan manfaat sosial-ekonomi bagi masyarakat sekitar. Beragamnya manfaat ekosistem mangrove bagi masyarakat dan ekosistem sekitar meliputi manfaat tangible dan intangible, menyebabkan keseluruhan nilai mangrove tidak mudah dikenali, bahkan seringkali diabaikan di dalam pembangunan wilayah pantai
Dalam Ketentuan Umum UU 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dikatakan bahwa Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil antarsektor, antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah sumber daya hayati, sumber daya nonhayati; sumber daya buatan, dan jasa-jasa lingkungan; sumber daya hayati meliputi ikan, terumbu karang, padang lamun, mangrove dan biota laut lain; sumber daya nonhayati meliputi pasir, air laut, mineral dasar laut; sumber daya buatan meliputi infrastruktur laut yang terkait dengan kelautan dan perikanan, dan jasa-jasa lingkungan berupa keindahan alam, permukaan dasar laut tempat instalasi bawah air yang terkait dengan kelautan dan perikanan serta energi gelombang laut yang terdapat di Wilayah Pesisir. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil diubah dengan. Undang Nomor 1 tahun 2014, tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007, tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Perkembangan penetapan perundangan dan peraturan menurut penjelasan terdahulu bertujuan akan melindungi habitat ekologi biotan dan abiota zona pesisir serta hak-hak tradisional masyarakat diakui dalam pengelolaan kawasan konservasi. Masyarakat diberikan ruang pemanfaatan untuk perikanan di dalam kawasan konservasi (zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan, maupun zona lainnya), misalnya untuk budidaya dan penangkapan ramah lingkungan maupun pariwisata bahari dan lain sebagainya. Pola-pola seperti ini dalam konteks pemahaman konservasi terdahulu belum banyak dilakukan. Kini, peran Pemerintah pusat dalam konteks paradigma ini, hanya memfasilitasi dan menetapkan kawasan konservasi, sedangkan proses inisiasi, identifikasi, pencadangan maupun pengelolaannya secara keseluruhan dilakukan dilakukan sepenuhnya oleh pemerintah daerah.
Kesempatan yang diberi ruang oleh perundangan dan peraturan kepada masyarakat pada kawasan konservasi di zona pesisir salah satu; masyarakat dapat beraktifitas pada wilayah konservasi misalnya kegiatan wisata bahari atau juga dikenal ekowisata yang berfungsi menjaga dan meningkatkan ekologi zona pesisir. Salah satu aktifitas ekowisata yang mempunyai potensi ekologi dan ekonomi masyarakat adalah ekowisata hutan mangrove.
Sesuai dengan Peraturan-Presiden-No-73-Tahun-2012, menjelaskan; Pasal 2. Ekosistem Mangrove adalah kesatuan antara komunitas vegetasi mangrove berasosiasi dengan fauna dan mikro organisme sehingga dapat tumbuh dan berkembang pada daerah sepanjang pantai terutama di daerah pasang surut, laguna, muara sungai yang terlindung dengan substrat lumpur atau lumpur berpasir dalam membentuk keseimbangan lingkungan hidup yang berkelanjutan. Pasal 3. Pengelolaan ekosistem mangrove berkelanjutan adalah semua upaya perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan lestari melalui proses terintegrasi untuk mencapai keberlanjutan fungsi-fungsi ekosistem mangrove bagi kesejahteraan masyarakat.
Konservasi, Konservasi Mangrove, dan Pembangunan Berkelanjutan
Koservasi berasal dari istilah Conservation yang artinya pengawetan atau perlindungan. Konservasi sumber daya alam dapat didefinisikan sebagai kegiatan yang meliputi perlindungan, pengawetan, pemeliharaan, rehabilitasi, introduksi, pelestarian, pemanfaatan dan pengembangan sumber daya alam (Anonim, 1985).
Konservasi juga dapat dipadang dari segi ekonomi dan ekologi, dimana konservasi dari segi ekonomi berarti mencoba mengalokasikan sumberdaya alam untuk sekarang, sedangkan dari segi ekologi, konservasi merupakan alokasi sumberdaya alam untuk sekarang dan masa yang akan dating.
Konservasi Mangrove
Ekosistem mangrove merupakan penghasil detritus, sumber nutrien dan bahan organik yang dibawa ke ekosistem padang lamun oleh arus laut. Sedangkan ekosistem lamun berfungsi sebagai penghasil bahan organik dan nutrien yang akan dibawa ke ekosistem terumbu karang. Selain itu, ekosistem lamun juga berfungsi sebagai penjebak sedimen (sedimen trap) sehingga sedimen tersebut tidak mengganggu kehidupan terumbu karang.
Selanjutnya ekosistem terumbu karang dapat berfungsi sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak (gelombang) dan arus laut. Ekosistem mangrove juga berperan sebagai habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi organisme yang hidup di padang lamun ataupun terumbu karang. Sebagian manusia dalam memenuhi keperluan hidupnya dengan mengintervensi ekosistem mangrove. Hal ini dapat dilihat dari adanya alih fungsi lahan (mangrove) menjadi tambak, pemukiman, industri, dan sebagainya maupun penebangan oleh masyarakat untuk berbagai keperluan (Rochana, 2002).
Konservasi hutan mangrove adalah usaha perlindungan, pelestarian alam dalam bentuk penyisihan areal sebagai kawasan suaka alam. Salah satu bentuk dari konservasi hutan mangrove adalah membangun ekowisata mangrove) Dengan demikian, diperlukan adanya konservasi mangrove untuk menjaga kelestarian mangrove yang ada. Konservasi itu sendiri berasal dari kata con (together) dan servare (keep/save) yang memiliki pengertian upaya memelihara apa yang kita punya (keep/save what you have).
Pembangunan Berkelanjutan
Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan hidup masa sekarang dengan mempertimbangkan pemenuhan kebutuhan hidup generasi mendatang. Prinsip utama dalam pembangunan berkelanjutan ialah pertahanan kualitas hidup bagi seluruh manusia di masa sekarang dan di masa depan secara berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan dilaksanakan dengan prinsip kesejahteraan ekonomi, keadilan sosial, dan pelestarian lingkungan. Pendekatan yang digunakan dalam pembangunan berkelanjutan merupakan pendekatan yang menyeluruh. Pembangunan berkelanjutan sangat memperhatikan dampak dari setiap tindakan sosial dan ekonomi terhadap lingkungan hidup. Dampak buruk terhadap lingkungan hidup harus dihindari dari setiap kegiatan sosial dan ekonomi sehingga kelestarian lingkungan tetap terjaga di masa sekarang dan di masa mendatang.
Ekowisata dan Prinsip-prinsip Ekowisata Mangrove
Ekowisata merupakan suatu bentuk perjalanan yang bertanggung jawab ke wilayah-wilayah yang masih alami dengan tujuan konservasi atau melestarikan lingkungan dan memberi penghidupan pada penduduk lokal serta melibatkan unsur pendidikan (TIES 2015). Pengelolaan ekowisata bahari yang berkelanjutan harus mempertimbangkan aspek ekologi yang menjadi objek bagi suatu kegiatan, dengan melibatkan unsur sosial sebagai pelaku wisata dalam pengelolaan, sehingga dapat memberikan manfaat secara ekonomi.
(Lindberg & Hawkins 1995) menyatakan bahwa ekowisata merupakan hal tentang menciptakan dan memuaskan suatu keinginan akan alam, tentang mengeksploitasi potensi wisata untuk konservasi dan pembangunan dan tentang mencegah dampak negatifnya terhadap ekologi, kebudayaan dan keindahan selanjutnta (Gossling1999; Ross & Wall 1999) menyatakan bahwa ekowisata dapat berkontribusi untuk menjaga keanekaragaman hayati dan fungsi ekosistem. Sitomorang & Mirzanti (2012) menambahkan bahwa ekowisata bukan sekedar menawarkan panorama yang masih alami dan indah, ekowisata juga menyediakan proses pembelajaran untuk melindungi dan merawat alam, dan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal di sekitar atau di dalam daerah tujuan ekowisata .( Koroy k,Yulianda F, Nurlisa A. Butet,2017).
Materi Ekowisata
Tujuan ekowisata ialah untuk membangun kesadaran lingkungan. Jika lingkungan tempat wisata sudah terbebas dari bahaya, maka dampak positif yang terjadi adalah tempat wisata tersebut mendapatkan rasa hormat dan budaya yang tinggi dari penduduk sekitar tempat wisata dan penunjung tempat wisata tersebut.
Nilai ekonomi dari setiap pengadaan ekowisata. Nilai ekonomis disini mengandung maksud bahwa setiap ekowisata memberikan manfaat pemasukan keuangan untuk wilayah konservasi. Keuangan yang dimaksud adalah dana yang didapatkan dari pengunjung tempat wisata dan dana tersebut dapat masuk ke dalam devisa negara dan dan kantor konservasi ekowisata tersebut.
Proses ekowisata juga dapat dikatakan sebagai konservasi lingkungan hidup. Pada dasarnya konservasi adalah tindakan untuk melestarikan alam guna menjaga keindahan alam di suatu tempat agar selalu lestari dan cocok apabila dijadikan sebagai objek wisata.
Dampak pada masyarakat lokal. Bagaimana tidak, masyarakat lokal yang belum memiliki pekerjaan akan diberikan pekerjaan dengan berdirinya tempat wisata berbasis ekowisata di daerah mereka. Selain masuk ke dalam devisa pemerintah, pendapatan juga akan terus mengalir pada industri swasta yang bergerak di bidang pariwisata seperti transportasi dan lain sebagainya
Prinsip Utama Pengembangan Ekowisata
- Konservasi
- Pendidikan
- Ekonomi
- Peran Aktif Masyarakat
- Daya tarik wisata (Objek Wisata)
Sumber: Bahan Kuliah Dr. Ridwan Lasabuda, 2021.
Konservasi
Pemanfaatan keanekaragaman hayati tidak merusak sumber daya alam itu sendiri.Relatif tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan dan kegiatannya bersifat ramah lingkungan. Dapat dijadikan sumber dana yang besar untuk membiayai pembangunan konservasi. Dapat memanfaatkan sumber daya lokal secara lestari.Meningkatkan daya dorong yang sangat besar bagi pihak swasta untuk berperan serta dalam program konservasi. Mendukung upaya pengawetan jenis.
Pendidikan
Meningkatkan kesadaran masyarakat dan merubah perilaku masyarakat tentang perlunya upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Ekonomi
Dapat memberikan keuntungan ekonomi bagi pengelola kawasan, penyelenggara ekowisata dan masyarakat setempat. Dapat memacu pembangunan wilayah, baik di tingkat lokal, regional mapun nasional. Dapat menjamin kesinambungan usaha. Dampak ekonomi secara luas juga Peran Aktif Masyarakat
Membangun Hubungan Kemitraan dengan Masyarakat Setempat
Pelibatan masyarakat sekitar kawasan sejak proses perencanaan hingga tahap pelaksanaan serta monitoring dan evaluasi.Menggugah prakarsa dan aspirasi masyarakat setempat untuk pengembangan ekowisata.Memperhatikan kearifan tradisional dan kekhasan daerah setempat agar tidak terjadi benturan kepentingan dengan kondisi sosial budaya setempat.Menyediakan peluang usaha dan kesempatan kerja semaksimal mungkin bagi masyarakat sekitar kawasan.
Daya Tarik Wisata (Objek Wisata)
Ekowisata berbeda dengan wisata alam pada umumnya. Kegiatan ini menerapkan konsep konservasi keanekaragaman hayati, pendidikan lingkungan dan budaya, serta pemberdayaan ekonomi baik lokal maupun nasional. Ekowisata mangrove merupakan kegiatan yang tengah berkembang di Indonesia. Hal ini dilakukan sebagai salah satu upaya pemanfaatan ekosistem mangrove dan keanekaragaman hayatinya dalam pengembangan konsep strategi konservasi.
Prinsip utama dalam rencana pengembangan kegiatan ekowisata mangrove setidaknya mencakup 5 hal. Komitmen pada pelestarian lingkungan adalah hal utama. Selanjutnya harus berbasis pengelolaan ekosistem, melibatkan dan bermanfaat bagi masyarakat setempat, serta memenuhi regulasi lingkungan hidup dan ekowisata. Daya tarik wisata selain keragaman flora dan fauna yang unik, serta keragaman fauna perairannya, juga untuk pendidikan lingkungan.
Analisis Kesesuaian Ekowisata Mangrove
Pengembangan ekowisata membutuhkan penilaian potensi keanekaragaman flora fauna di ekosistem mangrove berdasarkan parameter kesesuaian ekologis dan daya dukung kawasan. Penilaian kesesuaian ekologis yaitu untuk meminimalkan dampak dari kegiatan ekowisata. Perhitungan daya dukung kawasan digunakan untuk mengetahui jumlah maksimal pengunjung yang secara fisik dapat ditampung dalam satu hari pada waktu tertentu tanpa menimbulkan dampak negative pada sumber daya alam maupun manusia . Berdasarkan uraian tersebut perlu memahami mempelajari potensi mangrove, kesesuaian dan daya dukung kawasan untuk pengembangan ekowisata.
Upaya pencegahan laju kerusakan ekosistem pesisir dan laut dengan pola pemanfaatan yang berlebihan, maka hal yang paling utama dalam konsep pemanfaatan sumberdaya untuk ekowisata bahari memerlukan model pengelolaan yang didasarkan pada pendekatan Daya Dukung Kawasan (DDK), terhadap penggunaan sumberdaya lingkungan menjadi penting untuk dikaji secara ilmiah sehingga diharapkan dapat menghasilkan suatu arahan pengelolaan dengan konsep ekowisata bahari yang berkelanjutan.
Beberapa parameter lingkungan yang dijadikan sebagai potensi pengembangan ekowisata mangrove adalah kerapatan jenis mangrove, ketebalan mangrove, spesies mangrove, kekhasan, pasang surut dan objek biota yang ada didalam ekosistem mangrove.
Jenis atau Spesies Mangrove
Hutan Mangrove meliputi pohon-pohonan dan semak yang terdiri dari 12 genera tumbuhan berbunga (Avicennia , Sonneratia , Rhizophor, Bruguiera , Ceriops , Xylocarpus , Lumnitzera , Laguncularia , Aegiceras , Aegiatilis , Snaeda dan Conocarpus ) yang termasuk ke dalam delapan famili (Bengen, 2004). Vegetasi hutan mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi, namun demikian hanya terdapat kurang lebih 47 jenis tumbuhan yang spesifik hutan mangrove. Paling tidak di dalam hutan mangrove terdapat salah satu jenis tumbuhan sejati penting/dominan yang termasuk kedalam empat famili: Rhizophoraceae (Rhizophora , Bruguiera dan Ceriops ), Sonneratiaceae (Sonneratia ), Avicenniaceae (Avicennia ) dan Meliaceae (Xylocarpus ) (Bengen,2004).
Kerapatan Hutan Mangrove
Kerapatan jenis adalah jumlah total individu spesies per luas petak pengamatan dimana luas petak pengamatan adalah jumlah plot atau luas plot misalnya jumlah plot yang diamati ada 10 buah, dengan luas masingmasing plot 10 m x 10 m maka total seluruh petak pengamatan adalah 1000 m (Fachrul M.F., 2006).
Biota Hutan Mangrove
Menurut Bengen (2004), komunitas fauna hutan mangrove membentuk percampuran antara dua kelompok yaitu :
- Kelompok fauna daratan / terestrial yang umumnya menempatibagian atas pohon mangrove, terdiri atas: insekta, ular, primata, dan burung. Kelompok ini tidak memiliki sifat adaptasi khusus untuk hidup di dalam hutan mangrove, karena melewatkan sebagian besar hidupnya diluar jangkauan air laut pada bagian pohon yang tinggi, meskipun mereka dapat mengumpulkan makanannya berupa hewan lautan pada saat air surut.
- Kelompok fauna perairan/akuatik, terdiri atas dua tipe yaitu : Yang hidup di kolom air, terutama barbagai jenis ikan, dan udang; Yang menempati substrat baik keras (akar dan batang pohon mangrove maupun lunak (lumpur), terutama kepiting, kerang dan berbagai jenis avertebrata lainnya.Komunitas mangal bersifat unik, disebabkan luas vertikal pohon dimana organisme daratan menempati bagian atas sedangkan hewan lautan menempati bagian bawah. Hutan – hutan bakau, membentuk percampuran yang aneh antara organisme lautan dan daratan dan menggambarkan suatu rangkaian dari darat ke laut dan sebaliknya (Nybakken, 1992) dikutip oleh Tuwo, A (2011)
Kekhasan/Keunikan (Uniquiness)
Kekhasan adalah parameter yang dinilai dengan melihat keberadaan atau kekayaan jenis satwa dan atau tumbuhan pada suatu kawasan/habitat yang dinilai atau ekosistem didalam suatu wilayah biogeografi atau pulau (Dirjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, 2002).
Pasang Surut
Pasang surut adalah proses naik turunnya muka laut secara hamper periodik karena gaya tarik benda-benda angkasa, terutama bulan dan matahari (Dahuri, 1996). Pasut tidak hanya mempengaruhi lapisan di bagian teratas saja, melainkan seluruh massa air. Di perairan-perairan pantai, terutama di teluk-teluk atau selat-selat yang sempit, gerakan naik turunnya muka air akan menimbulkan terjadinya arus pasang surut. Berbeda dengan arus yang disebabkan oleh angina yang hanya terjadi pada air lapisan tipis di permukaan, arus pasut bisa mencapai lapisan yang lebih dalam (Nontji, 2002).
Contoh pendekatan analisis : Penelitian dari : Teguh Setyo Nugrohoa,b, Achmad Fahrudin, Fredinan Yuliand, Dietriech Geoffrey Bengen “Analisis kesesuaian lahan dan daya dukung ekowisata mangrove di Kawasan Mangrove Muara Kubu, Kalimantan Barat “(2018), menggunakan parameter Indeks Kesesuaian.
Tingginya keanekaragaman biota yang berasosiasi dengan mangrove dan beragamnya jenis mangrove di kawasan ini membuatnya berpotensi untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata. Pengembangan kawasan wisata dengan konsep ekowisata merupakan salah satu perjalanan wisata alam yang berorientasi pada konservasi, dan melestarikan sumber daya yang berkelanjutan.
Untuk mendukung kegiatan pengembangan ekowisata perlu menggali potensi keanekaragaman flora dan fauna yang menjadi prioritas dalam pengembangan ekowisata, semakin tinggi potensi daya tarik kawasan akan semakin menarik minat pengunjung untuk berkunjung di kawasan tersebut. Dengan melibatkan masyarakat lokal ke dalam pengelolaan ekowisata akan lebih menjamin keberlanjutan rehabilitasi dan konservasi mangrove serta memberikan manfaat lebih terkait peningkatan perekonomian masyarakat (Lilik Rodianaa, Fredinan Yuliandab, Sulistionob, 2019).
Simpulan dan Saran
Pertimbangan nilai, manfaat dan fungsi mangrove tersebut, maka ekowisata dapat dipandang sebagai jalan tengah atau win-win solution untuk konservasi hutan mangrove. Melalui ekowisata, diharapkan manfaat sosial dan ekonomi dapat terus diperoleh dan bahkan dikembangkan tanpa mengeksploitasi mangrove, sehingga fungsi ekologinya dapat berjalan secara berkelanjutan.
Komitmen pengembangan ekowisata yakni pelestarian lingkungan adalah hal utama. Selanjutnya harus berbasis pengelolaan ekosistem, melibatkan dan bermanfaat bagi masyarakat setempat, serta memenuhi regulasi lingkungan hidup dan ekowisata. Daya tarik wisata selain keragaman flora dan fauna yang unik, serta keragaman fauna perairannya.
Pengembangan Ekowisata Seharusnya dilakukan kajian secara komprehensif dari aspek kelembagaan dan aturan, sosial ekonomi, keterlibatan masyarakat dan paling utama aspek lingkungan ekologi dari aspek daya dukung kawasan.melalui analisis kesesuaian 5 parameter mangrove.
Saran untuk pengelolah; Prinsip pengembangan ekowisata di kawasan yang memiliki sifat rentan terhadap kerusakan karena keberadaan flora atau fauna atau lanskap tertentu sehingga perlu dilakukan konservasi. Atau lebih singkat, pariwisata yang menghormati aktivitas konservasi.
Saran untuk masyarakat; Masyarakat harus dapat memperoleh kesejahteraan dan dapat memberikan contoh bagi penerapan prinsip ekowisata baik itu melalui produk olahan inovatif maupun dalam andil langsung dalam pelestarian lingkungan.
Saran untuk pemerintah; Penguatan Aspek Regulasi, Aspek Perencanaan, Aspek kelembagaan Aspek Pelaksanaan, Strategi (1) mengembangkan produk ekowisata minat khusus mangrove; (2) meningkatkan fasilitas dan sarana; (3) meningkatkan mutu sumberdaya manusia yang kompeten; (4) membuat jejaring website ekowisata mangrove dan (5) meningkatkan koordinasi dengan pihak terkait dengan pengawasan terhadap kelestarian dan kebersihan kawasan mangrove ‘
Referensi
- Mega Lugina, Indartik, & Mirna Aulia Pribadi. .VALUASI EKONOMI EKOSISTEM MANGROVE DAN KONTRIBUSINYATERHADAP PENDAPATAN RUMAH TANGGA: STUDI KASUS DESA PEMOGAN, TUBAN DAN KUTAWARU, Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 16 No.3, 2019: 197-210 p-ISSN 1979-6013 e-ISSN 2502-4221 Terakreditasi Nomor 21/E/KPT/2018)
- Teguh Setyo Nugrohoa,b, Achmad Fahrudinc, Fredinan Yuliandac, Dietriech Geoffrey Bengen Analisis kesesuaian lahan dan daya dukung ekowisata mangrove di Kawasan Mangrove Muara Kubu, Kalimantan Barat` Journal of Natural Resources and Environmental Management 9(2): 483-497. http://dx.doi.org/10.29244/jpsl.9.2.483-497 E-ISSN: 2460-5824http://journal.ipb.ac.id/index.php/jpsl.
- Lilik Rodianaa,*, Fredinan Yulianda, Sulistiono. KESESUAIAN DAN DAYA DUKUNG EKOWISATA BERBASIS EKOLOGI MANGROVE DI TELUK PANGPANG, BANYUWANGI. Journal of Fisheries and Marine Research Vol.3 No.2 (2019)
- https://core.ac.uk/download/pdf/12216698.pdf
- https://faktabanten.co.id/cilegon/4proyek-pemusnahan-hutan-mangrove-demi-pabrik-kimia-lotte-di-cilegon-sesuai-aturankah
- https://sultraline.id/wp-content/uploads/2020/09/IMG-20200915-WA0028-1024×768.jpg
- https://www.jogloabang.com/pustaka/uu-27-2007-pengelolaan-wilayah-pesisir-pulau-pulau-kecil
- http://www.pustaka.ut.ac.id/lib/wp-content/uploads/pdfmk/PEBI4522-M1.pdf
- (http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/20681/Chapter%20II.pdf?sequence=4&isAllowed=y
- https://lautsehat.id/ekonomi-hijau/lilikhandayani/memanfaatkan-konservasi-hutan-mangrove-sebagai-ekowisata
- https://id.wikipedia.org/wiki/Pembangunan_berkelanjutan
- https://dosengeografi.com/pengertian-ekowisata/
- http://repositori.uin-alauddin.ac.id/5796/1/M.%20Zaki%20Thahiry.pdf
Disusun: Lyndon Pangemanan (Mahasiswa Prodi Doktor Ilmu Kelautan FPIK Unsrat).
Dosen Pengampuh: Dr.Ir. Ridwan Lasabuda, MSc.
Mata kuliah: Manjemen Wisata Bahari.