KOMUNIKASULUT.COM – Peretasan akun media digital makin marak, seolah akun media sosial sudah tidak ada lagi pengamannya. Hampir semua media sosial pernah mengalami masalah peretasan oleh para peretas untuk kepentingan politik maupun penipuan berbasis media digital.
Ketua Ikatan Doktor Ilmu Komunikasi (IDIK) UNPAD, Dr. Pitoyo, SS, M.IKom, mengatakan, para peretas media digital itu menggunakan berbagai cara untuk melakukan aksinya. Diantaranya adalah meretas hotspot Wifi gratis yang ada di tempat umum, baik di mall, stasiun, bandara, hingga kafe dan restoran. Pada umumnya pengguna hotspot wifi gratis tidak banyak yang memahami bahayanya saat menggunakan perangkat wifi tersebut.
Dr Pitoyo, menyampaikan hal tersebut pada Webinar dengan tema Kiat-kiat Menangkal Hoax yang diselenggarakan oleh Kominfo dan Siber Kreasi di Lampung Selatan, Provinsi Lampung. Acara yang diselenggrakan untuk tujuan literasi digital ini, dibuka oleh Presiden RI Ir Joko Widodo, pada 15 September 2021, pukul 09.00 wib.
Jokowi, demikian Presiden Joko Widodo biasa dipanggil secara akrab mengatakan, hingga akhir tahun 2022, sebanyak 12.548 desa/kelurahan di Indonesia akan terjangkau oleh internet. Ini menunjukkan bahwa semua daerah pelosok di negeri ini, sudah dapat menggunakan internet sebagai jaringan komunikasi digital. Ini berarti Indonesia telah melakukan percepatan 10 tahun, dari tahun 2032 yang dicanangkan sebelumnya.
“Namun harus diingat, bahwa media digital harus digunakan untuk hal-hal yang positif, kreatif dan produktif. Kita harus sama-sama berjuang melawan serangan hoax,” kata Jokowi.
Gubernur Provinsi Lampung, Ir H Arinal Djunaidi menjadi keynote speaker pada acara literasi digital ini mengatakan gerakan literasi digital ini sangat bermanfaat bagi masyarakat Lampung khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Untuk itu, perlu disimak dengan baik, agar masyarakat Indonesia bisa semakin cakap digital.
“Kami berterimakasih, masyarakat Lampung berpartisipasi untuk mengikuti rangkain kegiatan webinar literasi digital ini,” kata Arinal.
Webinar ini menghadirkan empat narasumber, Chika Audhika, S.I.A, Co-Founder & CMO of Bicara Project, Dr. Pitoyo, SS, M.IKom, Ketua Umum Ikatan Doktor Ilmu Komunikasi UNPAD, Rahmat Hadi Wijaya, S.STP, M.Si, Camat Tanjungsari Kabupaten Lampung Selatan, H Eko Anzair, M.Si, Kepala Sekolah Al Kautsar Bandar Lampung, Michele Wanda, Key Opinion Leader (KOL) serta moderator M. Syahal Yoga.
Menurut Dr Pitoyo, bagi yang suka beraktivitas di luar ruang, sebaiknya hati hati saat mengunakan hotspot wifi gratis. Demi keamanan, sebaiknya menggunakan Virtual Private Network (VPN) untuk mengaburkan informasi pribadi dari orang lain yang mungkin menggunakan jaringan publik tidak aman yang sama. Namun sebelum menggunakan VPN, harus dipastikan terlebih dahulu, VPN itu sah dan dipercayai untuk menjaga privasi.
“Selain melindungi informasi, VPN akan mengenkripsi semua data yang masuk atau keluar dari komputer atau ponsel dan menyembunyikan lokasi Anda,” jelas Dr. Pitoyo
Dr Pitoyo menambahkan, banyak cara yang dilakukan peretas, diantaranya dengan mengintip di aplikasi. Saat mengunduh aplikasi baru sebelum mencontreng pada kotak setuju, pahami dulu aturan privasi yang dibuat oleh aplikasi tersebut. Untuk itu, ubah dulu bahasa di ponsel atau laptop menjadi bahasa Indonesia, sehingga dapat dimengerti dan pahami informasi yang disampaikan oleh pengembang aplikasi.
“Jangan asal setuju saja, tanpa membaca aturan privasi yang ada di aplikasi media digital tersebut. Hal ini karena bisa membayakan data pribadi yang sudah diupload pada aplikasi digital tersebut,” ujar Dr. Pitoyo.
Kendati aplikasi rata-rata sudah memberikan pengaman dalam bentuk enskripsi end to end, yang dinyatakan aman, tidak ada salahnya bila pengguna media digital selalu melindungi data privasinya dengan melakukan enskripsi tambahan. Enskripsi ini dirancang untuk mengacak data sehingga orang lain tidak ada yang bisa memahami teks, foto, video maupun infografis tanpa membukanya dengan kata kunci.
Enskripsi ini, lanjut Dr Pitoyo, tidak hanya berguna untuk melindungi informasi di komputer, tetapi juga untuk memastikan pesan teks, dan email di ponsel sehingga tidak menjadi sasaran peretas. Keberadaan kata kunci menjadi penting, harus benar-benar dirahasikan kepada siapapun.
Peretasan kata kunci di media digital, menurut Dr Pitoyo, terjadi karena kurang kuatnya membuat kata kunci. Terkadang kata kunci diambil dari angka kelahiran atau nama keluarga terdekat. Biasakan menggunakan kata kunci dengan kombinasi huruf besar dan kecil, angka dan karakter khusus.
“Dan yang penting lagi disimpan yang rapi, agar tidak ada yang tahu, meski temen deket atau keluarga,” ungkap Dr. Pitoyo.
Pesan penutup, Dr Pitoyo memberikan tips, hati-hatilah pada penipuan di media digital. Banyak cara digunakan diantaranya dengan membagikan link. Sebaran pesan di media digital yang masuk pada akun media digital kita, perlu diwaspadai. Pertama, perhatikan siapa pengirimnya, apabila tidak mengenal pengirimnya, maka sebaiknya jangan dibuka pesan atau link-nya. Mengingat banyak sekali malware atau virus yang disebarkan melalui link yang dikirim ke media digital. Kedua, jangan mudah untuk membagikan sebelum mengetahui isi pesan yang dibagikan orang lain pada akun media sosial.
“Sebaiknya kalau pesan itu dikirim oleh orang yang kita kenal, kita perlu minta izin sebelum share ke orang lain. Namun bila pesan atau link yang dikirim dari orang tak dikenal, sebaiknya jangan dishare,” kata Dr. Pitoyo.
Chika Audhika, S.I.A mengatakan dunia digital itu diibaratkan sebua lautan yang luas dan dalam. Apabila dapat menggunakan dengan baik, maka akan dapat manfaat dari menyelam di lautan, misalnya dapat mutiara. Namun bila tidak hati-hati, tentu akan membahayakan diri sendiri, dan hanyut dalam lautan digital yang luas dan dalam.
Banyak orang berharap mendapat manfaat besar secara instan di media digital. Chika mencontohkan dengan menjadi youtuber, sekelas Ria Ricis, Baim Paula dan Rafi Ahamad, tetapi banyak juga yang merasa tidak perlu mencari penghasilan jadi youtuber, sehingga keberadaannya di media sosial hanya untuk berkomunikasi dengan teman-teman lama dan baru di dunia maya.
“Hadirnya media digital memang mengubah pola pikir generasi Milenial dan generasi Z, yang lebih memilih hidup di dunia digital ini dari pada pekerjaan lainnya. Dulu tidak ada anak yang punya cita-cita jadi youtuber, tapi lihat sekarang semua berlomba dapat menghasilan dari Youtube dan facebook,” kata Chika.
Rahmat Hadi Wijaya menambahkan, dalam dunia digital diperlukan kepiawaian dalam berkomunikasi, mengingat penghuni dunia digital adalah penduduk dunia yang jumlahnya separo dari penduduk dunia pemilik akun media sosialnya. Karena itu diperlukan budaya yang universal dalam berkomunikasi di media sosial. Budaya universal itu bisa berupa menyampaikan pesan secara santun, dan dapat dipertanggung jawabkan.
“Janganlah ikut-ikutan menyebarkan hoax, apalagi mengumbar kata-kata yang mengarah pada ujaran kebencian baik pada orang lain maupun pemerintah, karena ada konsekuensi hukumnya,” jelas Rahmat yang keseharian menjadi Camat ini.
H Eko Anzair, mengatakan, hoax beredar karena ada yang secara sadar dan tidak sadar menyebarkannya. Disebut secara sadar karena merasa hoax itu benar tanpa mengecek lebih dahulu sebelum dishare. Namun ada juga yang tanpa sadar, karena berniat ingin memberi kabar atau wacana kepada teman yang dianggapnya belum tau tentang informasi politik maupun ekonomi terkini. Padahal berita hoax itu banyak yang sengaja dibuat dengan mendompleng informasi yang benar dan akurat, anmun diedit dan diganti dengan kalimat yang menyesatkan atau mediskriditkan orang lain.
Michele Wanda, sebagai Key Opinion Leader (KOL) memberi tips agar terhindar dari berita bohong. Sebaiknya check and recheck dulu sebelum membagikan pesan kepada orang lain. Dan, janganlah mudah membagikan informasi apapun kepada teman atau saudara, cukupkan informasi itu berhenti pada diri sendiri.
“Kalau dibully di media sosial, sebaiknya pembully itu jangan diberi panggung, delete atau block saja. Beres,” kata Michele. (*)