Menggugat Dwifungsi ABRI di Era Reformasi

Suatu Upaya Penguatan Reformasi dan menolak ABRI Reborn

Oleh: Renaldo Garedja, S.IP
Mahasiswa Pascasarjana UNSRAT Manado

SELAMA Pemerintahan Orde Baru, Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Polisi Republik Indonesia (POLRI) yang menyatu dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), telah terjadi dedominasi militer pada hampir di semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Muh Fajrul, dkk dalam Implikasi Reposisi TNI-Polri di Bidang Hukum (2001, 250) menyebutkan, militer difungsikan sebagai pilar penyangga kekuasaan. Konsep ini muncul sebagai dampak dari implementasi DwiFungsi ABRI yang telah menjelma menjadi multifungsi. Akibatnya peran ABRI dalam kehidupan bangsa telah melampaui batas-batas konvensional keberadaanya sebagai alat negara di bidang pertahanan dan keamanan. Integrasi status Polri berwatak sipil ke dalam tubuh ABRI dapat dikatakan sebagai peningkaran terhadap prinsip demokrasi.

Pengukuhan ABRI sebagai kekuatan sosial politik baru terjadi secara legal formal setelah keluarnya UU No. 20 Tahun 1982 tentang ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara. Lahirnya UU ini untuk lebih memantapkan landasan hukum Dwifungsi ABRI, yang sebelumnya hanya diatur dalam Ketetapan MPR. Dalam UU No. 20 Tahun 1982 ditegaskan, bahwa pengaturan peran sosial politik ABRI adalah sebagai kekuatan sosial yang bertindak selaku dinamisator dan stabilisator. Hal ini menjadi kontradikdsi, karena bagaimana mungkin dinamisator dan stabilisator sekaligus dipegang oleh orang yang sama. Setidaknya ada dua pasal yang mendukungnya. Pasal 26 menyebutkan, Angkatan Bersenjata mempunyai fungsi sebagai kekuatan pertahanan keamanan dan sebagai fungsi kekuatan sosial. Pasal 28 ayat (1) menegaskan, Angkatan Bersenjata sebagai kekuatan sosial bertindak selaku dinamisator dan stabilisator yang bersama-sama kekuatan sosial lainya memikul tugas dan tanggung jawab mengamankan dan menyukseskan perjuangan bangsa dalam mengisi kemerdakaan. Sementara itu, dalam ayat (2)-nya menyatakan, bahwa dalam melaksanakan fungsi sosial, Angkatan Bersenjata diarahkan agara secara aktif mampu meningkatkan dan memperkukuh ketahanan nasional dengan ikut serta dalam pengambilan keputusan mengenai masalah kenegaraan dan pemerintahan, serta mengembangkan demokrasi Pancasila dan kehidupan konstitusional berdasarka UUD 1945. (ibid, 254-255).

Dari penguatan dari pasal-pasal di atas, secara terbuka melegitimasi kekuatan ABRI yang sangat mendominasi di era orde baru. Bahkan lebih jauh lagi, dalam pembagian kursi di parlemen, ABRI diberikan fraksi khusus tujuannya untuk dapat dengan muda mengambil keputusan politik di parlemen tanpa melalui proses pemilu. Tak tanggung-tanggung, sebanyak 100 kursi untuk diduduki oleh prajurit TNI/Polri. Hal ini jelas, ABRI sangat mempersempit ruang gerak sipil untuk mengambil peran pada posisi- posisi yang merupakan domainya. Dan juga tidak menjadi hal yang asing lagi, bila kebijakan dan keputusan penting dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara lahir dari tangan militer yang menegasikan proses demokrasi sejak awal masuk parlemen.

Keterlibatan ABRI dalam dunia Politik pada era Orde Baru merupakan implementasi dari pelaksanaan Dwifungsi ABRI. Artinya selain fungsi pertahanan dan keamanan, TNI juga memainkan fungsi sosial politik. Tak hanya di parlemen, ABRI juga masuk dalam jabatan pemerintahan pusat hingga daerah, bahkan menjadi anggota kabinet.

Reformasi Politik 1998

Jatuhnya rezim tangan besi Orde Baru yang dikenal dengan Reformasi 98, merupakan kemenangan rakyat Indonesia secara politik. Seperti yang telah diulas tadi, kita dapat melihat kegilaan ABRI sebagai kaki tangan Orde Baru merasuki sistem politik bangsa dengan cara melegitimasi dirinya sebagai dinamisator dan stabilisator. Tetapi hal tersebut runtuh dalam berbagai gerakan untuk menumbangkanya (Reformasi Politik). Setidaknya pada reformasi politik 1998 telah membawa berbagai perubahan yang fundamen dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pertama, sejak jatuhnya rezim tangan besi Orde Baru, kita tidak lagi memiliki seorang pemimpin yang sentral dan menentukan. Kemunculan pusat-pusat kekuasaan baru di luar negara, telah menggeser seorang Presiden RI dari penguasa yang hegemonic dan monopolisitik menjadi kepala negara biasa, yang sewaktu-waktu dapat digugat dan bahkan diturunkan dari kekuasaannya.

Kedua, kemunculan kehidupan politik yang lebih liberal, telah melahirkan proses politik yang juga liberal. Ketiga, reformasi politik juga telah mempercepat pencerahan politik rakyat. Semangat keterbukaan yang dibawanya telah memperlihatkan kepada publik, betapa tingginya tingkat distorsi dari proses penyelenggaraan negara. Keempat, pada tataran lembaga tinggi negara, kesadaran untuk memperkuat check and balances antara cabang-cabang kekuasaan telah berkembang sedemekian rupa, sampai melampaui konvensi yang selama ini dipegang (asas kekeluargaan).

Kelima, reformasi politik telah mempertebal keinginan elite berpengaruh dan publik politik Indonesia untuk secara sistematik dan dalam melakukan perubahan mendasar dalam konstitusi Indonesia. Selain kelima perubahan terjadi akibat gerakan reformasi politik, secara mendasar pula gerakan ini harus diintepretasikan sebagai upaya yang terorganisasi dan sistematis dari bangsa indonesia untuk mengaktualisasi nilai-nilai demokrasi, yang selama masa Orde Baru telah termanipulasi dan diselewengkan untuk memperkokoh jaring laba-laba kekuasaanya. Berdasarkan intepretasi reformasi tersebut, maka agenda nasional harus difokuskan pada upaya pengembangan yang terus-menerus terhadap “indeks demokrasi” (indices of democracy). Hal tersebut dapat dikelompokan dalam empat aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Pertama, melahirkan sistem pemilihan umum yang bebas, jujur, adil dan terbuka; Kedua, keberadaan pemerintahan yang terbuka, antikorupsi, dan responsive; Ketiga, perlindungan hak-hak sipil dan politik untuk seluruh rakyat; Keempat, keberadaan masyarakat yang percaya diri karena kemapannan ekonomi, pendidikan dan sosial yang mumpuni.

Keterlibatan TNI/Polri dalam Pemilu Pasca Reformasi

Pada tahun 1999 pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden No. 2 Tahun 1999 tentang langkah kebijakan dalam rangka pemisahan Polri dari ABRI. Langkah politis ini diambil dalam rangka melegitimasi secara politik guna mengembalikan status polisi yang memiliki watak sipil. Bila dilihat dari sisi norma hukum, Inpres ini jelas sangat bertentangan secara formil maupun materiil dengan UU No. 20 Tahun 1982 tentang ketentuan-ketentuan pokok pertahanan dan keamanan negara, serta TAP MPRS No.XXIV/MPRS/1996 tentang kebijakan dalam bidang pertahanan dan keamanan yang substansinya menguatkan integrasi Polri dengan TNI. Inpres tidak dapat mencabut berlakunya UU. Maka pada 1 Februari 1999, Presiden B.J. Habibie mengesahkan UU No. 2 Tahun tentang Partai Politik.

Pemilu 1999, jelas baru langkah awal dan belum mampu menjadi sarana partisipasi politik rakyat. Seharusnya, Pemilu menjadi jalan untuk rakyat merasakan demokrasi secara utuh tanpa diamputasi hak dan kewajibanya. Rakyat berhak menentukan siapa yang menjadi representasi mereka untuk menjalankan roda pemerintahan sekaligus mengawasinya secara langsung. Namun, pada helatan Pemilu tahun 1999 belum mencapai persiapan yang sempurna dan belum mencerminkan amanat reformasi. Pemilu dipersiapkan terlalu cepat sehingga tidak memberi kesempatan kepada partai politik untuk melakukan konsolidasi program terhadap masyarakat luas, kemudian perangkat undang-undang yang disiapkan masih bias kepentingan partai Orde Baru. Pemilu tahun 1999 dilaksanakan dengan menggunakan sistem proposional berdasarkan stelsel daftar.

Pemilu 1999 masih jauh dari panggang api, masih adanya wakil ABRI yang duduk di DPR tanpa mengikuti Proses Pemilu. Bagi kelompok oposisi radikal, masih dipertahankannya wakil TNI di parlemen, hal ini menunjukkan bahwa pemerintahan trasisi Habibie tidak memiliki komitmen yang kuat dalam mengkosolidasikan demokrasi. Di dalam UU No. 4 Tahun 1999 tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR, DPRD, pasal 11 ditegaskan, (1) Pengisian Anggota DPR dilakukan berdasarkan hasil Pemilihan Umum dan pengangkatan. (2) DPR terdiri atas: a) Anggota Partai Politik hasil Pemilihan Umum; b) Anggota ABRI yang diangkat. (3) Jumlah anggota DPR adalah 500 orang dengan rincian: a) Anggota Partai Politik hasil Pemilihan Umum, sebanyak 462 orang; b) Anggota ABRI yang diangkat, sebanyak 38 orang.

Pengangkatan anggota DPR dari ABRI sebanyak 38 orang sebagai “Imbangan atau kompensasi Politik” karena anggota ABRI tidak menggunakan hak memilih. (Pasal 30 UU No. 3 Tahun 1999 Tentang Pemilihan Umum).

Pada tahun 2000, terjadi perubahan mendasar dalam hubungan TNI dan Polri pasca-perubahan UUD 1945, yaitu lahirnya TAP MPR No.VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri, TAP MPR No. VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri. Untuk menindaklanjuti TAP MPR tersebut dikeluarkanlah UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.

Konsideran TAP MPR No VI/MPR/2000 menegaskan bahwa salah satu tuntutan reformasi dan tantangan masa depan adalah dilakukannya demokratisasi, maka diperlukan reposisi dan restrukturisasi ABRI. Bahwa dengan adanya kebijakan dalam bidang pertahanan/keamanan telah dilakukan penggabungan Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Kepolisian Negara RI dalam ABRI. Sebagai akibat dari penggambungan tersebut, terjadi kerancuan dan tumpang-tindih antara peran dan fungsi TNI sebagai kekuatan pertahanan negara dengan peran dan tugas Kepolisian Negara RI sebagai kekuatan keamanan dan ketertiban masyarakat. Peran sosial politik dalm Dwifungsi ABRI menyebabkan terjadinya penyimpangan peran dan fungsi TNI dan Polri yang berakibat tidak berkembangnya sendi-sendi demokrasi dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.

Perihal keikutserataan TNI dan Polri dalam penyelenggaraan negara, telah ditegaskan dalam Pasal 5 dan Pasal 10 TAP MPR No. VII/MPR/2000. Di dalam Pasal 5 telah ditegaskan: 1. Kebijakan Politik negara merupakan dasar kebijakan dan pelaksanaan tugas TNI, 2. TNI bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis, 3. TNI mendukung tegaknya demokrasi, menjunjung tinggi hukum dan hak asasi manusia, 4. Anggota TNI tidak menggunakan hak memilih dan dipilih, keikutsertaan TNI dalam menentukan arah kebijakan nasional disalurkan melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat paling lama hingga tahun 2009, 5. Anggota TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pension dari dinas ketentaraan. Pasal 10 menegaskan sebagai berikut: 1. Anggota Kepolisian Negara RI bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis, 2. Anggota Kepolisian Negara RI tidak menggunakan hak memilih dan dipilih. Keikutsertaan Kepolisian Negara RI dalam menentukan arah kebijakan nasional disalurkan melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat paling lama hingga tahun 2009. 3. Anggota Kepolisian Negara RI dapat menduduki jabatan-jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pension dari dinas kepolisian.

Isu Wacana Penjabat Kepala Daerah TNI/Polri Aktif 2022-2024

Pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 201 ayat (8) UU No 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan kepala daerah. Pada jelang pemungutuan suara serentak nasional tersebut, tepatnya tahun 2022 hingga 2023 sejumlah daerah akan mengalami kekosongan pejabat kepala daerah, hal itu dikarenakan masa jabatan kepala daerah hasil pemilihan kepala daerah tahun 2017 berakhir pada tahun 2022 dan kepala daerah hasil pemilihan kepala daerah tahun 2018 berakhir pada tahun 2023. Diantaranya 24 Gubernur serta Bupati dan Walikota sebanyak 248. Tentunya kekosongan jabatan kepala daerah ini patut diseriusi oleh pelbagai stake holder terkait, guna menstabilisasi tatakelola pemerintahan di tingkatan daerah. Langkah yang dapat diambil oleh pemerintah ialah mengisi kekosongan jabatan kepala daerah Gubernur, Bupati dan Walikota dengan diangkatnya penjabat hingga terpilihnya Gubernur, Bupati dan Walikota defenitif nanti.

Siapa sajakah yang dapat diangkat sebagai Penjabat Kepala daerah tersebut? yang dapat diangkat sebagai penjabat kepala daerah untuk Gubernur berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan Gubernur defenitif dan sesuai dengan peraturan perudang-undangan. Yang berikut yang dapat diangkat sebagai penjabat kepala daerah untuk bupati dan walikota berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama. Diketahui dalam UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN, pada penjelasan Pasal 19 ayat (1) huruf b) menjelaskan Yang dimaksud dengan “jabatan pimpinan tinggi madya” meliputi sekretaris jenderal kementerian, sekretaris kementerian, sekretaris utama, sekretaris jenderal kesekretariatan lembaga negara, sekretaris jenderal lembaga nonstruktural, direktur jenderal, deputi, inspektur jenderal, inspektur utama, kepala badan, staf ahli menteri, Kepala Sekretariat Presiden, Kepala Sekretariat Wakil Presiden, Sekretaris Militer Presiden, Kepala Sekretariat Dewan Pertimbangan Presiden, sekretaris daerah provinsi, dan jabatan lain yang setara. Kemudian pada huruf c) menjelaskan Yang dimaksud dengan “jabatan pimpinan tinggi pratama” meliputi direktur, kepala biro, asisten deputi, sekretaris direktorat jenderal, sekretaris inspektorat jenderal, sekretaris kepala badan, kepala pusat, inspektur, kepala balai besar, asisten sekretariat daerah provinsi, sekretaris daerah kabupaten/kota, kepala dinas/kepala badan provinsi, sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan jabatan lain yang setara.

Perlu juga penulis menjelaskan terkait dengan perbendaan antara penjabat dan pelaksana tugas untuk dapat dapat dipahami secara komprehensif agar supaya tidak menjadi ambigu. Penjabat (PJ) adalah pejabat yang memangku jabatan kepala daerah karena kekosongan jabatan daerah defenitif, sedangkan pelaksana tugas (PLT) adalah pejabat yang memangku jabatan kepala daerah karena kepala daerah defenitif sedang berhalangan sementara waktu atau cuti kampanye diluar tanggungan negara. Dalam hal ini petahana yang menjadi peserta pemilihan kepala daerah. Sepintas, tampak hampir sama antara PJ dan PLT dalam pengertiannya namun berbeda dalam penerapanya.

Baru-baru ini pemerintah membuka opsi TNI-Polri jadi PJ Gubernur. “Kemungkinan-kemungkinan seperti itu menjadi pertimbangan jika melihat kondisi daerah yang memerlukan seperti itu” perkataan itu disampaikan oleh Benni Irawan selaku Kepuspen Kemendagri. Benni juga menyampaikan pemerintah beberapa kali menunjuk perwira TNI-Polri sebagai penjabat kepala daerah. Misalnya, saat menunjuk Mayjen TNI Soedarmo sebagai PJ. Gubernur Aceh (2016-2017) dan Irjen Carlo Tewu sebagai PJ. Gubernur Sulawesi Barat (2016-2017) Komjen Pol M. Irawan Sebagai PJ Gubernur Jawa Barat (2018). Menurut Benni, penunjukan keduanya sesuai aturan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Dua orang itu adalah pejabat pimpinan tinggi madya di Kemendagri dan Kemenko Polhukam. (CNN Indonesia “Pemerintah Buka Opsi TNI-Polri Jadi Penjabat Gubernur”).

Entah apa yang menjadi pertimbangan pemerintah diangkatnya TNI/Polri menjadi PJ kepala daerah. Namun mari kita telusuri kembali peraturan perundang- undangan dan peraturan lainya sehingga kedepan tidak terjadi kegagalan atau miss konsepsi dari pemerintah untuk diangkatnya PJ kepala daerah dari lingkup TNI/Polri. Sebelumnya penulis telah menjelaskan secara komprehensif gugatan baik secara historis maupun yuridis terkait persoalan dwifungsi ABRI. Selanjutnya penulis ingin menyodorkan kembali secara rinci terkait larangan pengangkatan prajurit TNI/Polri sebagai PJ kepala daerah. Pasal 47 ayat (1) UU No 34 tahun 2004 tentang TNI menjelaskan, Prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan. Ayat (2) Prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotik nasional, dan Mahkamah Agung. Ayat (3) Prajurit menduduki jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didasarkan atas permintaan pimpinan departemen dan lembaga pemerintahan non departemen serta tunduk pada ketentuan administrasi yang berlaku dalam lingkungan departemen dan lembaga pemerintah non departemen dimaksud. Selanjutnya penjelasan pasal 47 ayat (2) Yang dimaksud dengan jabatan adalah jabatan yang dapat diduduki oleh prajurit aktif tidak termasuk jabatan Menteri Pertahanan atau jabatan politisi lainnya. Dari sini kita dapat menarik kesimpulan bahwa sudah ada limitasi jabatan untuk TNI/Polri menduduki sebuah jabatan pimpinan tinggi madya dan jabatan pimipinan tinggi pratama.

Selanjutnya dalam PP No 17 tahun 2020 tentang perubahan atas PP No tahun 2017 tentang manajemen PNS, pasal 147 Jabatan ASN tertentu di lingkungan Instansi Pusat tertentu dapat diisi oleh prajurit Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan kompetensi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 148 ayat (1) Jabatan ASN tertentu dapat diisi dari prajurit Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dari sini juga sudah mampu dijelaskan bahwa pengangkatan prajurit TNI/Polri jabatan tinggi negara tergantung permintaan dari kementrian. Yang menjadi kekeliruan bilamana pengangkatan prajurit TNI/polri aktif dimintakan untuk menduduki jabatan tinggi dari kementrian kemudian dialihfungsikan menjadi penjabat Kepala daerah. Hal itu merupakan praktek yang keliru.

Bila kedepan pemerintah berambisi mengisi jabatan PJ kepala daerah oleh Prajurit TNI/Polri aktif dengan pertimbangan kompetensi dan profesionalitas, ataupun dengan alasan lainya, maka penulis pun ingin menyodorkan beberapa point penting yang mungkin saja perlu ditanggapi secara serius. Pertama, desain pemilihan serentak nasional sudah direncanakan sejak lama, pada pasal 201 ayat (8) UU No 10 tahun 2016, bukan hal yang tergesa-gesa. Yang dihawatirkan bila kedepan, pengalaman pemilu ditahun 1999 dapat terulang kembali. Kedua, pemerintah harus menghindari kontroversi dan spekulasi ditengah kerumitan dan kompleksitas serta tensi politik 2024 agar energy bangsa tidak terbuang percuma untuk hal-hal yang seharusnya bisa diantisipasi atau dihindari sejak bersama. Ketiga, penting untuk menjaga kepercayaan dan dukungan publik, untuk kesuksesan agenda politik electoral tahun 2024 nanti, Keempat, jika pengisian jabatan PJ kepala daerah menjadi sebuah beban untuk tata kelola pemerintah, maka opsi normalisasi jadwal pilkada di akhir 2022 dan atau awal tahun 2023, dan hal itu membutuhkan revisi UU no 10 tahun 2016 tentang Pilkada. Kelima, pilihan yang paling aman adalah pemerintah mengambil kebijakan sekertaris daerah secara otomatis mejadi PJ Kepala daerah untuk mengisi kekosongan jabatan, dengan pengawasan optimal dan proposional dari Pemerintah, Komisi ASN, Bawaslu, dan stakeholder yang punya otoritas akan hal tersebut.