komunikasulut.com – Belum lama ini tim ahli, Panitia khusus (Pansus) DPRD dan Dinas Pendidikan Provinsi Sulut kembali membahas Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang penyelenggaraan pendidikan.
Bertempat di Ruang Serba Guna DPRD Sulut, pembahasan terlihat alot ketika meninjau kembali pasal-pasal yang pernah dipending, dan kemudian dibahas lagi untuk mencari titik temunya.
Ada pun poin yang sempat dipending, yakni pada 16 terkait satuan pendidikan adalah kelompok layanan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal pada kejenjang pendidikan menengah, dan jenis pendidikan khusus layanan khusus.
“Di sini ada masukan kalo boleh ditambahkan di jalur formal dan pendidikan non formal berupa Paket C. Karena yang lalu katanya menjadi kewenangan dari kabupaten/kota. Bisa tidak ini diserahkan ke Pemerintah Provinsi Sulut. Sekali lagi, apakah ini bisa menjadi kewenangan dari Pemerintah Provinsi Sulut,” ungkap Ketua Pansus Ranperda tentang Penyelenggaraan Pendidikan Provinsi Sulut, Vonny Paat.
Setelah mendengarkan penjelasan Paat, anggota Pansus lainnya juga angkat bicara. Kali ini Cindy Wurangian, dirinya tidak mengusulkan Paket C ini yang menjadi domain dari kabupaten/kota, terus harus diambil provinsi. Jadi bukan seperti itu maksudnya.
“Akan tetapi pembahasan kita ini, jika ditarik undur berawal dari kami melakukan kunjungan kerja disalah satu sekolah yang cukup besar di Bolmong. Di sana kami mendapat temuan setiap tahunnya ada kasus anak yang hamil. Dan itu setiap tahunnya. Saat itu juga kepala sekolah menyampaikan bahwa dirinya sampai dilaporkan ke kepolisian oleh orang tua murid. Dikarenakan orang tua murid tidak menerima ketika anaknya disuruh pulang oleh pihak sekolah. Dimana, menurut kepala sekolah anak ini baru habis melahirkan 3 hari dan mau memaksakan ikut ujian,” jelas Wurangian.
Melihat hal itu, orang tuanya menganggap apa yang dilakukan oleh pihak sekolah ini adalah tindakan mengusir. “Pada dasarnya, kepala sekolah ini yang juga seorang wanita takut untuk mengambil resiko, karena dia tau jika baru habis melahirkan kondisinya seseorang itu seperti apa. Dengan memulangkan siswi ini membuat dirinya dilaporkan oleh orang tua,” ujar anggota Sekretaris Komisi IV DPRD Sulut ini.
“Ketika kami telusuri lebih jauh, ternyata di peraturan sekolah ketika ada kasus seperti ini anak harus dikeluarkan dari sekolahnya. Ketika didiskusikan lebih dalam kami mendapati juga peraturan ini tidak ada payung hukumnya. Jadi paling tinggi aturannya hanya ditata tertib sekolah, dan tidak ada payung hukum yang lebih tinggi bahwa anak ketika hamil harus berhenti sekolah,” cerita anggota Fraksi Golkar tersebut.
Berangkat dari temuan itu, Wurangian meminta pandangan dan solusi kepada rekan pansus, Dinas Pendidikan dan tim ahli terkait kasus seperti ini, yang dimana anak diberhentikan sekolah karena hamil. “Saya ibaratkan ada siswi masih kelas 1 SMA terus dia harus berhenti sekolah karena hamil. Jika anak ini salah jalan masa kita harus menghukum dia seumur hidup. Kemudian solusi yang didapatkan pada saat itu adalah anak-anak dapat melanjutkan pendidikannya melalui Paket C,” terangnya.
“Kita ketahui bersama Paket C ini domainnya ada di kabupaten/kota. Pemikiran saya mereka yang salah jalan. Kalau mereka mau kembali ke jalan yang benar, seharusnya kita wajib membina mereka agar tidak putus sekolah sejak SMA. Kalau semua dilemparkan ke Paket C, sementara Paket C ini domainnya di kabupaten/kota,” ujarnya.
“Ditakutkan setelah dari provinsi ke kabupaten/kota bisa putus. Dan pihak dari kabupaten/kota juga tidak mau tahu dari mana dan kasus apa anak ini nantinya. Kemudian solusi apa yang bisa kita tawarkan agar anak-anak ini tidak putus sekolahnya, dan mereka diberikan kesempatan kedua,” tambahnya.
Dan terpenting, Pemerintah Provinsi Sulut tidak dianggap lepas tangan dan membuang anak-anak ini begitu saja. Tim ahli pendidikan Samsi Pasandaran menyampaikan jika formal pendidikan dasar dan menengah Paket A dan B itu SD dan SMP, sedangkan C itu SMA khusus untuk ujian, itulah pengaturannya.
“Penjelasannya adalah yang tidak selesai boleh mengikuti Paket C, seperti itu yang diatur dalam Permendikbud Permendiknas Nomor 21 tahun 2009 ujian nasional program paket A, B, dan program pakai C,” jawab Pasandaran.
Karena ini ada dalam Permen, maka diatur di SMA, akan tetapi harus ada syaratnya yang harus dipenuhi untuk mengikuti Paket C. Dan itu harus nasional, sebab setiap daerah memiliki syarat yang berbeda pasti akan repot. “Untuk sementara menggunakan permen ini. Untuk Paket C dan penyelenggaranya standarnya memang mengikuti Permen,” imbuhnya.
Ketika Pasandaran selesai menjelaskan terkait domain dari Paket C ini, Amir Liputo yang juga anggota pansus meminta poin mana yang bisa diadopsi agar usulan dari anggota Pansus Cindy Wurangian ini bisa dimasukan, agar tidak terjadi lagi kejadian yang diceritakan.
“Apa yang disampaikan oleh ibu Cindy kiranya dapat diformulasikan oleh teman-teman. Di Diknas poin mana yang boleh kami masukan usulan ini. Sehingga kita boleh masuk ke pasal yang lain. Karena ini baru pengertiannya, kiranya ini dibicarakan secara khusus oleh teman-teman Diknas,” pinta Liputo sambil menyebut jika tidak bisa dimasukan dalam poin harus ada argumen. (*)