KOMUNIKASULUT.COM – Masalah transmigrasi di sejumlah desa di Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong) menyisakan polemik. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sulawesi Utara minta pemerintah segera ambil langkah. Ganti rugi lahan untuk masyarakat diharapkan segera diberikan.
Aspirasi tersebut disampaikan Sitty Nadira Manoppo, selaku kuasa masyarakat ganti rugi lahan eks Mopuya, Mopugat, dan Tumokan, yang sekarang jadi lahan transmigrasi. Dirinya menjelaskan, pada tahun 1971 didatangkan transmigrasi dari Jawa dan Bali didatangkan pemerintah ke Bolmong. Saat itu masih zaman Raja Manoppo. Ketika itu dia perintahkan masyarakat membuka lahan di Mopuya Cs.
“Ketika dia perintahkan buka lahan, maka datanglah sembilan desa. Dia buka lahan, sudah ada menanam pohon kelapa. Dari sembilan desa itu datanglah transmigrasi. Ini berdasarkan SK (Surat Keputusan, red) Gubernur H. V. Worang. Saat itu masyarakat diusir secara paksa keluar. Sejak hari itu hingga kini belum ada ganti rugi,” ungkap Sitty.
Seiring waktu, sudah ada lima desa minta ganti rugi tapi cuma diberikan kompensasi, dan dibayar lima desa. Dari kementerian mengatakan, bagi yang penduduk desa belum dibayar silahkan melakukan gugatan.
“Sesuai petunjuk menteri, kita ikuti sampai putusan MA (Mahkamah Agung, red) sudah inkrah, tapi belum direalisasi. Ibu Bupati sudah menyurat ke kementerian, tapi belum ada karena anggaran itu katanya banyak. Jadi aspirasi ini mau dialamatkan ke kementerian desa. Sudah ada kesepakatan malah sebelumnya di 2019, waktu itu sudah rapat tapi belum terealisasi sampai saat ini,” tuturnya.
Menyahuti itu, anggota DPRD Sulut, Yusra Alhabsyi menyampaikan yang ia ketahui soal keputusan dari pengadilan, yang mana sudah putusan MA. Eksekusinya tinggal di tingkat kabupaten, provinsi, dan kementerian.
“Setahu saya, di kabupaten sudah pertemuan beberapa kali. Termasuk kementerian, DPRD, dan pemerintah daerah. Saya sudah tidak update karena laporannya tidak diterima lagi di provinsi. Saya berharap Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi bisa tindak lanjut. Harus diseriusi dan ditindaklanjuti, kalau bisa d APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah, red) tahun ini atau kapan,” tanggapnya.
Ini agar masyarakat tidak terkatung-katung, karena bisa menimbulkan efek sosial. Ini punya kaitan antara pemerintah provinsi, kabupaten, dan pusat. “Itu kan tergugat 1, 2, dan 3. Ada tingkat kabupaten, provinsi, dan kementerian. Jadi tanggung jawabnya tiga-tiga tinggal dibagi berapa persen. Pemprov harus serius, karena ini sudah jadi aspirasi beberapa kali dan dipesankan itu melakukan langkah hukum,” tambah Yusra.
Terpisah, Hendra Jacob selaku salah satu aktivis anti korupsi angkat suara. Ia mengatakan, ada masyarakat di tiga desa yang belum terbayarkan kompensasinya. Mereka sudah mengikuti semua tahapan yang pemerintah anjurkan untuk menempuh jalur hukum, dan kini telah memegang putusan yang inkrah.
“Jadi pemerintah pusat lewat Kementerian Transmigrasi wajib membayarkan apa yang jadi hak dari eks warga di tiga desa tersebut. Tanpa harus menunggu putusan PK (Peninjauan Kembali, red),” ujar HJ sapaan akrabnya.
Selain itu, “Pemkab Bolmong dalam hal ini Bupati Yasti Soepredjo harus kooperatif untuk berkoordinasi dengan Kementerian Transmigrasi, terkait pembayaran kompensasi tersebut. Agar semuanya bisa segera terealisasi. Pemerintah kabupaten juga harus segera berkoordinasi dengan pihak Kepolisian Resor Bolmong, untuk mengantisipasi terjadinya konflik sosial antara eks warga tiga desa tersebut dengan para transmigran. Ini sebagai dampak dari belum terbayarnya kompensasi,”tandas Hendra. (*)