Puan dan Jalan Nasionalisme Indonesia

Saron bersama Puan Maharani. (Ist)

Oleh: Sandra Rondonuwu,
Ketua
 Badan Kehormatan (BK) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sulawesi Utara.

PERJALANAN politik Indonesia ditandai dengan geliat demokrasi yang terus bergerak sejak kemerdekaan Indonesia hingga hari ini. Corak sistem negara, dasar, landasan dan falsafah yang kemudian menjadi khas Indonesia, yakni Pancasila menjadi bagian yang tak terpisahkan, holistic, utuh dan menjatu dalam sanubari bangsa.

Lalu, politik pun berdialektika, sejak revolusi kemerdekaan, orde lama, orde baru, reformasi, orde gagal hingga orde pasca reformasi hanyalah sejumlah penamaan yang terus mendewasakan Indonesia dalam proses politik, meski dalam nafas nasionalisme yang kuat dan Tangguh.

Salah satunya adalah partai politik, sebagai agen perubahan, perkakas politik dalam berdemokrasi dan mencapai kemufakatan rakyat untuk mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Maka, PDI Perjuangan adalah aset demokrasi yang lahir dari rahim perjuangan kaum marhaen dengan cita-cita persatuan Indonesia, sudah sejak awal mendedikasikan diri untuk menjadi avangarde Pancasila dan UUD45 sebagai semangat persaudaraan dalam persatuan yang kita sebut sebagai nasionalisme Indonesia.

PDI Perjuangan tak sekadar partai yang ikut kontestasi politik dalam pesta demokrasi dengan syarat “procedural” untuk melahirkan pemimpin. Tapi kultur PDI Perjuangan yang membawa semangat nasionalisme Sukarno tentu tak akan lepas dari trah Sukarno yang tentu melebihi dari sekadar sebuah tradisi demokrasi belaka.

Di negara di mana pun di muka bumi ini, bahkan di Indonesia, orang selalu akan mencari bahkan menempatkan garis keturunan sebagai simbol sebuah semangat atau roh dalam konsistensi perjuangan. Sebut saja, sejumlah Presiden. Suharto hingga hari ini anak-anaknya terus berupaya untuk mengembalikan kejayaan bahkan kenangan romantisme orde baru melalui Tommy Suharto yang tak lelah berganti-ganti partai. SBY pun demikian, sejak jauh hari telah mempersiapkan AHY untuk terjun dan bahkan jelas-jelas menjadikannya sebagai “putra mahkota” tahta Demokrat meski dengan cara yang sangat instant.

Lalu yang masih berkuasa, Presiden Jokowi, tak kuasa menahan semangat partriotisme Gibran dan Bobby yang memang keluar dari ketiak Jokowi dan maju sebagai figure politik sebagai Wali Kota Solo dan Wali Kota Medan. Megawati Sukarno Putri, tentu punya Puan Maharani. Tapi puan, tidak lahir premature. Dia memulai karir politiknya dari bawah. Dan lama.

Di dunia politik Puan tidaklah baru. Dan dia tidak dipaksakan. Puan justru terkesan tidak punya ambisi, karena sejatinya jatah calon Presiden era Jokowi ini itu adalah hak kesulungan Puan. Tapi Megawati legowo mengubur panggung Puan demi seorang Jokowi yang memang memiliki elektabilitas yang sangat mumpuni untuk memenangkan kontestasi RI satu.

Belakangan ini, muncul polemic kalau Puan seolah olah dipaksa didorong untuk maju dalam kontestasi persiden 2024, bagi saya Puan justru terlalu pemalu. Sehingga ketika muncul kesannya dipaksakan dan seolah mengambil porsi orang lain.

Ini yang keliru. Puan ini, bukan kader instant. Dia sudah berkarir politik puluhan tahun, menjadi Anggota DPR RI, pernah menjabat Menteri, dan kini Ketua DPR RI. Jelas puan sudah menempuh jalan yang tepat bahkan sangat mumpuni untuk menjadi pemimpin nasional.

Bagi saya sebagai kader PDI Perjuangan dan seorang Sukarnois, Marhaen, Nasionalis tulen dan pembela Pancasila, mendukung Puan Maharani sebagai calon Presiden, bukan saja sebagai sebuah kepantasan yang hakiki, tapi juga sebagai sebuah harga diri partai demi tegaknya nasionalisme bangsa yang hingga kini masih belepotan.

Maju terus Mba Puan. Karena sejatinya, Indonesia tidak harus melulu dipimpin oleh tuan-tuan yang sudah selama ini menjadi pemimpin bangsa. Saatnya Puan yang memahami persis semangat ibu pertiwi yang mengandung revolusi rakyat, akan mampu melahirkan generasi-generasi tanggun era kemajuan teknologi yang makin canggih.
Merdeka.

Saron For Puan RI Satu. (*)