komunikasulut.com – Sebagai salah satu dari empat pilar demokrasi Indonesia, tidak bisa dipungkiri jika media sering menjadi alat politik di setiap kontestasi elektoral. Baik dalam Pemilihan Umum (Pemilu), Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), dan Pemilihan Legislatif (Pileg).
Dalam rangka menelusuri seluk-beluk dari fenomena tersebut, organisasi Political Academy di Manado menggelar diskusi hybrid bertemakan “Peran Media dalam Politik” di Rumah Kopi Leos Rike, Sabtu (11/6/2022).
Di kesempatan itu, Political Academy mendatangkan narasumber milenial yang sudah berpengalaman di bidang tersebut. Ia adalah Tiara Piri, S.IK.
Tiara yang merupakan Kepala Biro SCTV-Indosiar Manado, mengawali materinya dengan sejarah perjuangan Pers di Nusantara. Khususnya yang berkaitan dengan aktivitas politik.
“Media sudah sejak lama digunakan sebagai alat perjuangan. Ketika perpindahan orde lama ke orde baru, media berubah menjadi alat kekuasaan pemerintah. Terutama dalam memberitakan kepentingan mereka sendiri di masyarakat,” bukanya.
“Selepas orde baru ke reformasi, situasinya jadi terbalik. Media berada di atas angin, dengan berperan sebagai penggerak semua elemen yang ada,” tambah Yaya yang merupakan panggilan akrabnya.
Menurutnya juga, keberadaan negara demokrasi akan pincang tanpa kehadiran media. Karena perannya sangat strategis, lewat fungsi-fungsi yang tertuang dalam Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999. Di antaranya sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.
Politik sebagai salah satu elemen yang digerakkan media, tak ayal malah berperan kontradiktif dengan marwahnya sendiri. Salah satunya dengan menjadi alat pencitraan para aktor politik dan penguasa. Ini kembali dibeberkan Yaya.
“Keterkaitan media dengan politik saat ini, juga sebagai alat pencitraan diri seseorang yang memiliki kepentingan di kancah politik. Salah satunya adalah Presiden kita, yang bisa dikatakan merupakan produk pencitraan media,” ungkap Mahasiswa Pasca Sarjana di Universitas Sam Ratulangi Manado itu.
“Media berperan dalam menyebarluaskan jargon blusukan Jokowi sampai pelosok negeri. Kelebihan beliau pun tidak akan diketahui masyarakat Indonesia, jika tidak ada kehadiran media di sisinya. Termasuk latar belakangnya yang merupakan tukang kayu, sebelum menjadi Presiden RI ketujuh,” tandasnya.
Beberapa poin yang juga dikupas Yaya dalam diskusi, yaitu mengenai keterlibatan media dalam praktik black campaign, propaganda, serta langkah-langkah pencegahan yang bisa dilakukan masyarakat awam dalam menyikapi hal-hal tersebut.
Di sisi lain, pemilihan topik yang menarik membuat jalannya diskusi menjadi interaktif antara narasumber dan peserta yang hadir; baik secara langsung dan online. Marley Nunuhitu selaku Ketua Political Academy turut memberikan perspektifnya soal ini.
“Sudut pandang saya soal peran media dalam politik, yakni kita sebagai generasi milenial harus mampu mengamati penyebaran informasi-informasi yang ada. Apalagi Pemilu 2024 sudah dekat,” tuturnya.
“Karena kita ketahui bersama, masih banyak generasi muda di luar sana yang sembarangan mengonsumsi informasi lewat media-media yang kurang kredibel. Bijak-bijaklah dalam memilih dan mencerna informasi yang disajikan media,” tutup Marley.
Diskusi diakhiri dengan penyerahan piagam penghargaan kepada pemateri, dan foto bersama seluruh peserta yang hadir secara offline.
Peliput: Rezky Kumaat