Oleh: Rangga Paonganan
PENDAFTARAN partai politik peserta Pemilu tahun 2024 telah berakhir pada tanggal 14 Agustus 2022. Sebagaimana tahapan yang ada, KPU saat ini sedang dalam proses melakukan verifikasi administrasi seluruh data yang dimasukkan oleh setiap partai politik.
Secara teknis, KPU menggunakan PKPU Nomor 4 Tahun 2022 tentang Pendaftaran, Verifikasi, dan Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu Anggota DPR dan DPRD beserta peraturan turunannya sebagai dasar atau acuan melakukan verifikasi. Pasal 27 ayat (2) PKPU tersebut mengatur bahwa verifikasi administrasi oleh KPU dilakukan terhadap 3 hal yaitu Dokumen persyaratan, Keanggotaan ganda serta Keanggotaan partai politik yang berpotensi tidak memenuhi syarat.
Ada berbagai macam isu atau permasalahan yang terjadi dalam proses verifikasi ini, diantaranya keanggotaan ganda antar parpol yang marak terjadi, adanya temuan masyarakat yang dicatut namanya dijadikan anggota parpol, serta ada juga perdebatan atau diskusi yang muncul terkait jabatan atau pekerjaan anggota parpol yang dilarang dalam proses verifikasi.
Dalam tulisan ini penulis akan membahas secara singkat terkait jabatan atau pekerjaan yang dilarang tersebut. Hal tersebut menarik untuk dikaji lebih jauh, mengingat jenis jabatan atau pekerjaan yang dilarang tersebut bukan hanya diatur dalam produk peraturan KPU saja tetapi tersebar di banyak produk peraturan perundang-undangan di Indonesia, sehingga diperlukan kajian lebih luas, agar proses verifikasi yang dilakukan oleh KPU dapat berjalan sesuai dengan maksud dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sebelum membahasnya lebih jauh, penting dikaji terlebih dahulu, terkait apakah makna anggota partai politik dan pengurus/kepengurusan partai politik merupakan hal yang sama?
Secara gramatikal, tentunya frasa anggota parpol dan pengurus parpol merupakan hal yang berbeda. Apabila kita menafsirkan secara sederhana, anggota parpol itu belum tentu menjadi pengurus parpol, namun sebaliknya pengurus parpol itu sudah tentu merupakan anggota parpol.
Namun, terminologi anggota parpol dan pengurus parpol haruslah kita cari juga dalam produk peraturan perundang-undangan. Dalam UU Nomor 2/2008 tentang Partai Politik dan UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu, tidak ditemukan definisi tentang anggota parpol dan pengurus parpol. Terkait anggota parpol dalam Pasal 14 ayat (1) UU nomor 2/2008 hanya disebutkan bahwa WNI dapat menjadi anggota parpol apabila telah berumur 17 tahun atau sudah/pernah kawin.
Selanjutnya dalam PKPU Nomor 4/2022, dalam ketentuan umum Pasal 1 hanya didapati pengertian tentang pengurus partai politik. Sebagaimana diatur dalam angka 16 sampai 19, pengertian pengurus parpol adalah ketua, sekretaris, bendahara, dan jabatan atau sebutan lain yang tercantum dalam keputusan Pimpinan Partai Politik.
Merujuk dari pengertian ini, secara limitatif PKPU 4/2022 telah membatasi bahwa pengurus parpol adalah ketua, sekretaris, bendahara, dan jabatan atau sebutan lain dalam surat keputusan partai politik. Apakah hal di atas sudah cukup membuktikan bahwa anggota parpol merupakan hal yang berbeda dengan pengurus parpol ? Tentunya tidaklah cukup.
Namun apabila kita menganalisa UU Nomor 2/2008, hal-hal yang berkaitan dengan keanggotaan dan kepengurusan parpol diatur dalam bab yang berlainan. Dimana keanggotaan diatur dalam Bab VII dan kepengurusan diatur dalam Bab IX. Dari pengaturan tersebut, walaupun tidak disebutkan secara gamblang definisi atau perbedaan antara anggota parpol dan pengurus parpol namun dapat dilihat bagaimana pembuat undang-undang secara langsung membedakan terminologi antara anggota parpol dan pengurus parpol dengan memisahkan pengaturan materi terkait keanggotaan dan kepengurusan.
Dari Sistem Informasi Partai Politik (SIPOL) KPU juga dapat dilihat bahwa makna anggota parpol dan pengurus parpol sebenarnya berlainan, dimana dalam tampilan sipol tersebut menu terkait keanggotaan dan kepengurusan dipisahkan.
Dengan demikian anggota parpol dan pengurus parpol merupakan dua hal yang berbeda namun saling berkaitan. Sekali lagi seperti penafsiran sederhana di atas, anggota parpol itu belum tentu menjadi pengurus parpol, namun sebaliknya pengurus parpol itu sudah tentu merupakan anggota parpol. Pengurus parpol identik dengan jabatan dalam suatu parpol seperti ketua, sekretaris, dan bendahara, atau jabatan lainnya sedangkan anggota parpol itu belum tentu menduduki jabatan dalam parpol.
Lanjut terkait verifikasi keanggotaan parpol, Pasal 32 ayat (1) huruf a PKPU Nomor 4 / 2022, mengatur bahwa verifikasi administrasi terhadap keanggotaan partai politik yang berpotensi tidak memenuhi syarat dilakukan dengan membuktikan tidak terdapat anggota partai politik yang “berstatus sebagai anggota TNI, anggota Polri, ASN, Penyelenggara Pemilu, Kepala Desa, atau jabatan lainnya yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan”.
Dalam pasal ini perlu untuk digarisbawahi bahwa verifikasi yang dilakukan adalah verifikasi terkait keanggotaan. Dalam pasal tersebut ada 5 kategori status pekerjaan yang secara eksplisit atau sangat jelas disebutkan dilarang untuk menjadi anggota partai politik yaitu TNI, Polri, ASN, Penyelenggara Pemilu, dan Kepala Desa. Larangan tersebut sejalan dengan materi yang diatur UU Nomor 34/2004 tentang TNI, UU Nomor 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia serta UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu.
Terkait dengan Kepala Desa, dalam Pasal 29 huruf g UU Nomor 6/2014 tentang Desa, sebenarnya hanya mengatur bahwa Kepala Desa dilarang menjadi Pengurus Partai politik, namun oleh PKPU 4/2022 memberikan pengaturan tambahan bahwa Kepala Desa juga dilarang menjadi anggota Partai Politik.
Dalam konteks ini, tentunya hal tersebut sah-sah saja, tidak dapat dikatakan bahwa PKPU bertentangan dengan UU Desa, karena memang pada dasarnya UU Desa tidak mengatur larangan menjadi anggota parpol, sehingga ketika KPU mengatur hal tersebut tidaklah dapat dikategorikan sebagai produk yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, karena pada dasarnya anggota parpol dan pengurus parpol memang dua hal yang berlainan.
Begitu juga dengan ASN, melalui PKPU Nomor 4/2022 ini, terjadi perluasan materi larangan yang sebelumnya sudah diatur oleh peraturan perundang-undangan lainnya. Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37/2004 tentang Larangan PNS Menjadi Anggota Partai Politik menyebutkan secara jelas bahwa PNS dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik.
Namun, yang disebutkan dalam Peraturan Pemerintah tersebut adalah PNS bukan ASN seperti redaksi dalam PKPU 4/2022. Jika mengacu pada UU Nomor 5/2014 tentang ASN, dimana ASN terbagi atas 2 kategori yaitu PNS dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K), maka larangan untuk menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik bukan hanya terhadap ASN kategori PNS saja sebagaimana yang sudah diatur sebelumnya dalam PP 37/2004, tetapi juga berlaku terhadap ASN kategori Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K).
Selanjutnya bagaimana dengan jabatan atau pekerjaan lainnya selain kelima pekerjaan di atas?
Sebagaimana diatur dalam Pasal 32 ayat (1) huruf a PKPU Nomor 4 / 2022 verifikasi administrasi keanggotaan Partai Politik yang berpotensi tidak memenuhi syarat selain karena terdapat anggota yang berstatus sebagai TNI, Polri, ASN, Penyelenggara Pemilu, dan Kepala Desa, ada juga pekerjaan atau jabatan lain yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan.
Namun jabatan yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan tersebut tidak disebutkan dengan tegas dalam PKPU sehingga perlu dilakukan analisa secara komprehensif dengan mengkaji seluruh produk peraturan perundang-undangan terkait.
Dengan menggunakan terminologi anggota parpol sebagaimana dibahas di atas, maka kualifikasi jenis pekerjaan yang dimaksud hanyalah terkait SDM Progam Keluarga Harapan. Sebagaimana diatur dalam Pasal 10 huruf I Peraturan Direktur Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial Nomor 01/LJS/08/2018 Tentang Kode Etik Sumber Daya Manusia Program Keluarga Harapan, yang menyebutkan bahwa SDM PKH dilarang terlibat dalam aktivitas politik praktis seperti pengurus dan/atau anggota partai politik.
Pasal tersebut mengatur bahwa selain tidak boleh jadi anggota parpol, SDM PKH juga tidak boleh menjadi pengurus parpol. Dari redaksi pasal ini juga sebenarnya dapat dilihat bahwa anggota parpol dan pengurus parpol mempunyai makna yang berlainan.
Dari penjelasan-penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa verifikasi administrasi terhadap keanggotaan parpol yang berpotensi tidak memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (2) huruf c vide Pasal 32 ayat (1) huruf c hanyalah terbatas pada anggota TNI, Polri, ASN, Penyelenggara Pemilu, Kepala Desa, dan jabatan lainnya yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan yaitu SDM PKH.
Bagaimana dengan pekerjaan di lingkungan BUMN, BUMD, Perangkat Desa, dan Pendamping Desa?
1. Pekerjaan di lingkungan BUMN
Untuk jabatan Direksi dan Komisaris / Dewan Pengawas diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23/2022 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 45/2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan, dan Pembubaran BUMN.
Pasal 22 ayat (1) mengatur bahwa Anggota Direksi dilarang menjadi pengurus partai politik, selanjutnya dalam Pasal 55 ayat (1) diatur bahwa Anggota Komisaris dan Dewan Pengawas dilarang menjadi pengurus partai politik. Selanjutnya dalam Surat Edaran Menteri BUMN Nomor SE-01/MBU/2004 tanggal 9 Februari 2004, dalam point kedua diatur bahwa Anggota Direksi, Komisaris, dan Dewan Pengawas serta karyawan BUMN dilarang merangkap jabatan sebagai pengurus partai Politik.
2. Pekerjaan di lingkungan BUMD
Peraturan Pemerintah Nomor 54/2017 tentang BUMD, mengatur larangan bagi Dewan Pengawas, Direksi, dan Pegawai di lingkungan BUMD, di antaranya diatur dalam Pasal 38 huruf k yang menyebutkan bahwa Dewan Pengawas dilarang menjadi pengurus partai politik, selanjutnya Pasal 57 huruf l menyebutkan bahwa Direksi dilarang menjadi pengurus partai politik, serta Pasal 78 yang mengatur bahwa Pegawai BUMD dilarang menjadi pengurus partai politik
3. Perangkat Desa
Selain mengatur larangan terhadap Kepala Desa, dalam UU 6/2014 tentang Desa juga mengatur larangan bagi Perangkat Desa dan Anggota BPD sebagaimana diatur dalam Pasal 51 huruf g yang mengatur bahwa Perangkat Desa dilarang menjadi pengurus partai politik serta Pasal 64 huruf a yang mengatur bahwa Anggota Badan Permusyawaratan Desa dilarang menjadi pengurus partai politik
4. TPP/Pendamping Desa
Keputusan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2021 Tentang Petunjuk Teknis Pendampingan Masyarakat Desa, diatur dalam Halaman 74 terkait Etika Profesi TPP tentang kode etik terkait larangan yaitu pada angka 17 disebutkan bahwa TPP dilarang menjabat dalam kepengurusan Partai politik.
Dari penjelasan keempat jenis pekerjaan di atas, dapat dilihat bahwa terminologi yang digunakan adalah pengurus partai politik bukan anggota partai politik. Sehingga dalam konteks proses verifikasi keanggotaan parpol tidak dapat dijadikan indikator keabsahan.
Artinya untuk pekerjaan di lingkungan BUMN, BUMD, Perangkat Desa, BPD, dan Pendamping Desa tidak dapat dikategorikan “tidak memenuhi syarat” sebagai anggota parpol, karena pada dasarnya peraturan perundang-undangan terkait pekerjaan tersebut hanya melarang yang bersangkutan menjabat sebagai pengurus parpol bukan sebagai anggota parpol. Karena sekali lagi anggota parpol dan pengurus parpol mempunyai makna yang berlainan.
Pendekatan pekerjaan di lingkungan BUMN, BUMD, Perangkat Desa, BPD, dan Pendamping Desa selayaknya digunakan KPU dalam proses verifikasi administrasi terhadap dokumen persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (2) huruf a vide Pasal 8 ayat (1) PKPU 4/2022 yang ada kaitannya dengan dokumen kepengurusan, sekali lagi bukan terhadap verifikasi administrasi keanggotaan yang diatur dalam Pasal 27 ayat (2) huruf c vide Pasal 32 ayat (1) huruf c.
Karena itu Penyelenggara Pemilu khususnya KPU dalam proses verifikasi administrasi parpol yang sedang berjalan ini, jangan keliru menafsirkan apa yang dimaksud dengan anggota dan pengurus parpol untuk dijadikan indikator keabsahan verifikasi keanggotaan. Penyelenggara Pemilu harus menggunakan terminologi yang tepat secara sistematis dengan melakukan komparasi terhadap seluruh peraturan perundang-undangan terkait.
KPU dari tingkat Pusat sampai di tingkat Kabupaten/Kota juga harus punya pemahaman yang sama, harus ada keseragaman, jangan ada standar ganda, apalagi menafsirkan secara subjektif dan tidak mendasar serta tidak berpedoman pada asas kepastian hukum sebagai salah satu pedoman asas dalam landasan etika dan perilaku.
Jikalau diperlukan, KPU bisa membuat produk aturan baru misalnya dalam bentuk Surat Edaran, kemudian memberi penegasan jenis jabatan atau pekerjaan yang dilarang sebagaimana diatur oleh berbagai peraturan perundang-undangan terkait. Hal tersebut dilakukan agar memberi kepastian hukum dan keseragaman bagi KPU dalam bekerja melakukan verifikasi parpol khususnya verifikasi terkait keanggotaan. (*)