KPU Perlu Pertimbangkan Beberapa Hal Dalam Penyederhanaan Surat Suara 2024

Ferry Liando berpartisipasi dalam simulasi pemilihan serentak 2024. (Foto Istimewa)

KOMUNIKASULUT.COM – Komisi Pemilihan Umum (KPU) melakukan penyederhanaan surat suara untuk Pemilu 2024. Desain baru surat suara ini dibuat setelah melakukan evaluasi terhadap surat suara yang dipakai pada Pemilu Serentak 2019 lalu.

Pemilu 2019 merupakan pemilu serentak yang pertama kali digelar sepanjang sejarah Indonesia. Ada lima surat suara yang dipakai pada pemungutan suara, yaitu surat suara capres dan cawapres, surat suara anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota yang berisikan simbol partai dan nama calon anggota legislatif, dan surat suara anggota DPD.

Berdasarkan survei LIPI tahun 2019, jumlah suara tidak sah pada Pemilu Anggota DPD mencapai 19,2% yang sebagian besar karena tidak dicoblos dan suara tidak sah Pemilu Anggota DPR yang mencapai 11,1% padahal rata-rata maksimal suara tidak sah yang bisa ditolerir adalah sebesar 3-4% saja. Hal ini dikarenakan banyaknya surat suara, mengakibatkan kesulitan masyarakat dalam memilih, dan mengakibatkan banyak suara yang tidak sah.

Dosen Kepemiluan Unsrat, Ferry Daud Liando mengatakan ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan KPU dalam penyederhanaan surat suara yaitu tingkat kesulitan, durasi waktu, dan efisiensi. “Disamping itu, apapun pilihan model surat suara yang mau dipilih, KPU harus mempertimbangkan efektifitas tata kelola pemerintahan pasca pemilu,” tutur Liando.

Dikatakannya, selama ini kerap terjadi ketidakselarasan kekuatan politik di eksekutif dan legislatif. Legislatif lebih dominan ketimbang eksekutif. Hal itu terjadi karena pada saat pencoblosan, pilihan parpol pendukung capres/cawapres berbeda dengan pilihan parpol pendukung anggota DPR. Sehingga jika kertas suara pilpres dengan pilcaleg jadi satu maka potensi linieritas itu terjadi.

Ditambahkan Ferry Liando, hal yang perlu dikaji jika surat suara Pilpres, DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten disatukan adalah soal pemilih pindahan. “Jika pemilih pindah memilih di TPS berbeda dapil dalam satu kabupaten maka pemilih hanya bisa memilih calon DPRD Provinsi, DPR RI dan Presiden/Wakil Presiden. Jika pemilih pindah Provinsi maka pemilih hanya bisa memilih Presiden/Wakil Presiden,” ucapnnya.

“Apabila surat suara jadi satu, maka bisa saja ada pemilih pindahan yang ikuti mencoblos semua jenis pilihan. Hal ini perlu diantisipasi. Jika tidak diantisipasi maka potensi PSU dapat saja terjadi. Dalam hal pencegahan penyebaran covid, KPU telah menyediakan  sarung tangan agar penggunaan paku coblos yang digunakan bergantian pemilih yang satu dengan pemilih yang lain tidak menjadi sumber penularan” ujar Liando.

Menurutnya, perlu dipertimbangkan penggunaan sarung tangan hanya untuk disalah satu tangan saja. Karena sarung tangan plastik yang digunakan akan menyulitkan pemilih membuka lipatan surat suara yang masih menempel erat dengan sarung tangan plastik.

“Perlu juga dipikirkan soal waktu lipat suara yang menggunakan waktu panjang karena kesulitan dalam melipat sebagaiamana sediakalah. Perlu juga menjaga soal kerahasiaan surat suara. Kotak suara yang berdiameter kecil berpotensi kerahasiaan surat suara yang lebar tidak terjamin. Ada pemilih yang menjatuhkan pilihan di daftar paling bawah, maka hasil coblosan untuk Pilpres dapat terlihat oleh pihak lain,” beber Ferry Liando.

Peliput: Yaya Piri