Manusia Dalam Krisis Identitas Moral

Oleh: Febrianto Arifin

Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Sam Ratulangi Manado

SEORANG filsuf eksistensialisme Nietzsche dalam kritikannya tentang moralitas yang terkenal yaitu “Genealogi moral” dimana pandangan Nietzsche tentang moralitas yang ia anggap semacam Hieroglif, atau sebuah tanda-tanda yang menyembunyikan sebuah rahasia kegelapan. Dalam bukunya, jenseits vom Guten und Bosen ( melampaui baik dan buruk), Nietzsche mengambarkan tentang Benda-benda gelap yang dekat dengan matahari yang sama sekali tidak pernah kita saksikan. Berbicara tentang baik dan buruk menurut prespektif Nietzsche terdapat sebuah kenyataan gelap, moralitas dalam hal ini dianalogikan sebagai terang benderang. Inilah yang dimaksudkan atau ditafsirkan oleh Nietzsche yang disebut sebagai Geneologi Moral

Moralitas dalam pandangan Nietzsche sebagai atau semacam bahasa isyarat dari Emosi-emosi. Kedok atau pelaku dari bahasa isyarat menurut Nietzsche adalah rasionalitas, Objektivitas, atau Universalitas pandangan tertentu. Tentu hal ini bertentangan terhadap pandangan Rene Descartes tentang Rasionalitas, sekalipun konsep rasionalitas dibantah habis-habisan oleh Jean Paul Sartre.  Jargon Rene Descartes cogito ergo sum ( Aku berpikir, maka Aku ada), dalam pandangannya sumber kekuatan dari seorang manusia berada pada rasionya atau pikirannya tubuh manusia tidak memiliki peran penting dalam hal ini, karena sistem atau pengendali dalam tubuh seorang manusia adalah berasal dari pikiranya.

Kendati demikian seorang filsuf Eksistensialisme Kontemporer Prancis Jean Paul Sartre menentang pandangan tersebut. Ia berpendapat bahwa tubuh adalah Diri, dan diri adalah Tubuh, dimana ia meletakkan Intesionalisme pada sesuatu yang berwujud yaitu Tubuh, dalam hal ini sumber kekuatan pada manusia berasal dari badan atau tubuhnya sendiri.

Kembali pada krisis identitas moral, pada Hakikatnya keduanya adalah hal yang terpisah, dimana krisis identitas dan krisis moral adalah dua hal yang berbeda tetapi keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain, keduanya merupakan bagian dari krisis Multidimensional. Keduanya harus mampu dipahami dalam konsep yang yang paling mendasar antara moralitas dan identitas itu sendiri.

Perkembangan pesat teknologi dan kemajuan globalisasi melahirkan generasi yang instant, masyarakat cenderung terbatasi dalam melakukan interaksi dengan lingkungan sekitar karena dininabobokan oleh perkembangan teknologi. Sehingga sangat sulit sekali bagi manusia untuk dapat mengidentifikasi diri dengan komunitas dilingkungan sekitarnya. Kemajuan teknologi semacam melahirkan sebuah budaya baru dimana mendekatkan yang jauh, dan menjauhkan yang dekat.

Hal tersebut merupakan prespektif dari sisi moralitas, dari sisi identitas kecenderungan manusia dalam suatu negara mengkonsumsi berbagai produk dari negera-negara maju, hal ini bertendensi bagi masyarakat untuk mempraktekan budaya atau gaya hidup negara-negara maju, dimana dapat kita saksikan bersama secara realitas generasi bangsa kita hari ini yang sudah kecanduan budaya-budaya luar  Walaupun secara Harfiah realitas menurut Albert Eisten adalah ilusi, tetapi sifatnya yang memaksa. Tidak heran hari ini generasi kita hampir melupakan dan tidak mampu mengenali identitas dari bangsanya sendiri. Krisis identitas ini yang merupakan bentuk kewaspadaan yang harus mampu untuk dapat ditinjau kembali.

Menurut Durkheim dalam Lukes 1972, nilai-nilai, norma-norma dan keyakinan-keyakinan yeng merupakan bagian dari moralitas dimiliki secara bersama oleh setiap anggota suatu masyarakat. Intensitas menunjukkan sejauh mana moralitas atau kesadaran kolektif itu memiliki kekuatan untuk mengarahkan pikiran, sikap dan tindakan seseorang. Determinateness menunjukkan tingkat kejelasan setiap komponen yang merupakan bagian moralitas.

Muatan berkaitan dengan perbandingan jumlah antara simbol-simbol yang bersumber pada religi atau agama dan pemikiran sekuler yang menjadi bagian dari moralitas. Bila sistem moral tetap bisa berjalan sebagaimana mestinya, artinya bila keseimbangan antara kebutuhan dan kehendak individu dengan kebutuhan dan kehendak masyarakat keseluruhan bisa tetap terjaga, maka suatu kelompok masyarakat tidak akan mengalami permasalahan moral. Krisis moral baru mulai timbul apabila berbagai unsur moralitas mulai mengalami erosi, sebagian penting anggota masyarakat tidak lagi merasa terikat dengan aturan-aturan moral yang telah menjadi kesepakatan bersama, moralitas mengalami pelemahan sehingga tidak lagi memiliki otoritas atau kekuasaan untuk tidak mengendalikan sikap dan perilaku anggota masyarakat,  tidak terjadi lagi kemarahan moral atau moral outrage dari sebagian besar anggota masyarakat terhadap seseorang yang melanggar aturan moral

Problemnya adalah penyebab terjadinya krisis moral dan krisis Identitas adalah disebabkan oleh kebijakan pemerintah Itu sendiri. Dimana pemerintah terlalu menekankan pada industrialisasi dan modernisasi di bidang ekonomi, sementara pembangunan budaya dan karakter bangsa ditelantarkan. Sehingga krisis moral dan krisis identitas hari ini disebabkan karena tidak terbangunnya sebuah moralitas bangsa yang kuat.

Dalam kritik Nietzsche tentang geneologi moral, bahasa isyarat-isyarat dari emosi-emosi yang dimaksudkan disini jika kita korelasikan atau mencoba menarik satu benang merah atau kongklusi adalah kebijakan pemerintah dalam hal ini disebut sebagai sebuah rasionalitas atau objektivitas yang menjadi kegelapan yang dekat dengan matahari atau sumber cahaya yang terang benderang yang dimaksudkan sebagai Moralitas.