Mengapa Calon Menyuap Pemilih?

ferry-liando

Oleh: Dr. Ferry Daud Liando, M.Si.

SABTU akhir pekan lalu saya diminta Pengelola Program Magister Tata Kelola Pemilu Pascasarjana FISIP Andalas untuk membahas, buku terbitan baru berjudul “Sisi Lain Pilkada; Memahami Kontestasi dari Sudut Praktis” yang ditulis rapih oleh Dr Asrinaldi Asril, dosen setempat.

Selain topiknya menarik, dikusi menjadi hangat karena penyelenggara juga menghadirkan hakim konstitusi Prof Dr Saldi Isra. Beliau kita kenal tak hanya piawai mengkonstruksi kajian hukum tata negara, namun juga serius dalam membangun kultur demokrasi.

Kegiatan yang dipandu teman diskusi saya, Dr Aidinil Zetra itu juga menghadirkan pembahas lain yakni Dr Mada Sukmajati, dosen UGM salah satu penulis buku paling laris saat ini “Politik Uang di Indonesia: Patronase dan Klientelisme pada Pemilu Legislatif 2014”.

Salah satu bagian yang dibahas dalam forum ini menyangkut kekuatan uang suap (money politic) sebagai modal utama oleh sebagian calon memenangi kontestasi. Modus kejahatan ini sepertinya belum akan bisa hilang dalam kompetisi Pilkada 2020.

Malahan tindakan ini sepertinya akan lebih parah ketimbang Pilkada sebelumnya.

Pertama, Pilkada akan dijadikan ajang kekuatan masing-masing parpol untuk persiapan pemilu 2024. Bagi parpol, untuk menguasai perolehan jumlah kursi di DPR, maka hal yang harus direbut adalah memenangkan kepala daerah.

Bagi ketua umum parpol, jika berambisi menjadi menteri maka harus bermodalkan jumlah kursi di DPR. Semakin banyak kursi diperoleh maka akan semakin banyak elit parpol menduduki jabatan menteri. Sehingga kapasitas dan pengalaman kepemimpinan bukan jadi variebel utama dalam mengusung calon kepala daerah oleh sebagian parpol. Tapi harus atas dasar kekayaan yang dimiliki. Sebab modal kekayaan bisa memudahkan calonnya terpilih.

Kedua, melaksanakan Pilkada ditengah penularan COVID-19 tentu akan menguntungkan calon yang hanya bermodalkan uang. Tekanan ekonomi akibat pemutusan hubungan kerja dan pembatasan aktivitas kerja tentu sebagian besar pemilih berharap santunan dari pihak lain. Keterbatasan bantuan sosial dari pemerintah akan dimanfatakan para calon merebut hati pemilih dengan cara memberinya uang dengan alasan kemanusiaan.

Ketiga, menghormati protokol kesehatan yang dibuat pemerintah, maka akan secara otomatis membatasi ruang gerak petugas pengawas Pilkada, media maupun masyarakat mengawasi pergerakan dan aktivitas masing-masing calon dan tim sukses.

Keempat, kelemahan regulasi dalam penindakan kejahatan politik uang akan menjadi daya dorong bagi sebagian calon untuk memanfaatkan kondisi ini. Meski di depan mata terjadi sebuah tindakan transaksi antara calon dan pihak pendukung calon dengan masyarakat, namun regulasi tak serta merta menyebut sebagai sebuah pelanggaran pidana.

Pemenuhan syarat formil dan materil harus terpenuhi. Perlu dibuktikan secara terstruktur, sistimatis dan masif. Melengkapi unsur-unsur ini tidaklah mudah. Subjek hukumnya juga diatur kapan itu terjadi, apakah saat pemberian ada penyampaian visi, misi dan ajakan untuk mempengaruhi pemilih. Masalah lainnya adalah batas waktu penanganan hanya 3 hari. Ada penambahan waktu, tapi hanya 2 hari (kerja) saja. Pemberi dan penerima pun harus memiliki legal standing. Tanpa itu, unsur kejahatan dianggap tak terpenuhi.

Bagi calon kepala daerah yang menjadi pelaku, mengandalkan politik uang bukan karena memanfaatkan kelemahan regulasi atau kendala pengawasan. Tapi karena keadaanlah yang memaksanya untuk harus melakukan itu.

Keadaan itu disebabkan karena pertama, parpol tak pernah membekali dia dengan pendidikan moral dan etika kepemimpinan sebelum menjadi calon kepala daerah. Buah atas kelemahan itu menjadikan calon kepala daerah tak melandasi moral sebagai pegangan utama dalam berkompetisi.

Jika moral menjadi dasar dalam berkompetisi maka tak mungkin akan ada calon yang berusaha menyuap atau menyogok pemilih agar mendapat dukungan saat pencoblosan. Jika moral sudah ternoda saat dalam proses pemilihan, bagaimana kelak ketika tepilih dan berkuasa.

Padahal moral harus jadi modal kuat ketika kekuasaan mengelola anggaran dan kewenangan yang begitu besar. Ironinya ada calon dari parpol baru mendapatkan kartu tanda anggota sehari sebelum berkas pencalonan dimasukan.

Kedua, pengalaman kepemimpinan di masyarakat yang terbatas menyebabkan jejaring dan interaksi sosial tidaklah terbuka dan meluas. Ia tak dikenal publik, diragukan track record dan kemampuannya. Sosok yang baru memperkenalkan diri secara instan dengan cara rajin beriklan dan memasang baliho baru menjelang tahapan Pilkada dimulai tentu sangatlah berat. Sehingga cara paling gampang untuk mempengaruhi pemilih adalah menyuap/menyogok.

Ketiga, calon kepala daerah, pelaku kejahatan politik uang terkesan sebagai upaya untuk menutupi banyak kekurangan calon. Kekurangan itu bisa jadi karena minim reputasi dimasa lalu sehingga namanya tidak populer atau bisa jadi keterbatasan inovasi dan keterampilan mempengaruhi pemilih. Tak memiliki modal dan talenta kepemimpinan, maka cara baginya untuk mempengaruhi pemilih yaitu dengan menghalalkan segala cara termasuk membeli suara pemilih.

Kejahatan politik uang ini akan melahirkan sedikitnya tiga bencana.

Pertama, melanggagar prinsip konstitusi. Menurut UUD 1945 pasal 2 ayat(1) menyatakan bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Menurut ketentuan Pasal 23 ayat (1) UU 39/1999 tentang HAM dinyatakan bahwa “Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya”. Mempengaruhi pemilih adalah bentuk intimidasi apalagi menghalangi kebebasan warga negara dalam memilih.

Kedua, kejahatan ini merusak prinsip dan kualitas Pilkada bersih. Anggaran Pilkada 2020 sebesar 20,46 triliun akan sia-sia jika akhirnya yang terpilih adalah calon yang hanya mengadakan modal uang atau kekayaan semata.

Ketiga, kejahatan politik uang ini akan berdampak pada tata kelola pemerinahan di kemudian hari. Masyarakat akan kesulitan karena mendapat perlakuan pelayanan publik yang buruk. Pejabat pemerintah yang menduduki jabatan struktural bisa saja tak banyak yang menguasai tupoksi.

KPK beberapa kali melakukan operasi tangkap tangan karena kepala daerah mewajibkan uang setoran jika ingin menjadi pejabat. Sarana publik tak optimal karena telalu banyak potongan anggaran saat pengerjaan proyek. Perizinan pengelolaan SDA bisa diobral dengan mudah. Kondisi ini berakibat terjadi bencana alam karena adanya eksploitasi alam yang tak terkendali. Para politisi saling berganti jabatan. Mereka datang dan pergi namun kerap yang wariskan hanyalah bencana bagi rakyatnya.

Jika parpol tak bisa diharapkan menjaring calon terbaik, jika regulasi memiliki banyak keterbatasan dalam melahirkan pemimpin terbaik maka benteng terakhir untuk menciptakan pemimpin bersih adalah masyarakat pemilih.

Pemilih yang baik tentu tidak akan menerima apapun pemberian dari calon manapun. Pemilih yang baik akan bisa menilai bahwa calon yang hanya mengandalkan uang dan berusaha membeli suaranya dapat dijadikan ukuran moral yang buruk. Dan tidak mungkin bagi pemilih itu untuk memilihnya pada 9 Desember 2020 nanti.