Oleh: Dr. Ferry Daud Liando, M.Si.
PADA 75 tahun lalu tepat seperti hari ini, Ir Soekarno, mengatasnamakan Bangsa Indonesia membacakan naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Sebuah penantian panjang dan melelahkan.
Sebelumnya rakyat Indonesia hidup sengsara atas jajahan negara lain. Para pejuang hidup mati mempertahankan kewibawaan Indonesia sebagai bangsa. Mereka hidup tersiksa dalam penjara dan sebagian harus mengorbankan nyawa atas perjuangannya itu.
Dengan dibacakannya proklamasi maka pada hari itu Indonesia yang merupakan sebuah bangsa (nation) berubah menjadi negara (state). Mendapat pengakuan dunia internasional dan bebas dari ketergantungan dan intervensi negara lain. Indonesia bukan lagi wilayah kolonial dan imperialisme negara lain. Kini Indonesia telah menjadi negara yang kokoh, kuat dan diperhitungkan negara lain.
Namun kemerdekaan itu belum banyak termanifestasi dalam setiap tindakan bernegara. Meski masih banyak kendala, namun sesungguhnya jaminan atas kemerdekaan dan hak-hak sipil telah banyak diakomodasi oleh UU. Dalam hal perumusan kebijakan negara, ada bagian-bagian penting menjadi ruang publik.
UU 15/2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan mengatur hak-hak sipil berkontribusi secara langsung dalam setiap pembuatan aturan seperti UU, aturan tentang pelaksanaan suatu UU, Perda Provinsi maupun Perda kabupaten/kota.
UU 25/2009 tentang sistem perencanaan nasional mewajibkan keikutsertaan publik dalam setiap tahapan perencanaan. Mulai dari musrembang desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi hingga ke tingkat nasional.
UU 10/2016 tentang pemilihan kepala daerah menyebutkan bahwa pemilihan dilakukan secara langsung oleh masyarakat. Bukan diangkat atau dipilih oleh DPRD.
Ketiga UU ini merupakan implementasi konstitusi UUD 1945 bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat. Kemerdekaan yang dimiliki Indonesia sama derajatnya dengan kemerdekaan yang dimiliki rakyatnya. Setelah merdeka maka tidak ada lagi intimidasi, intervensi ataupun pengaruh dari pihak manapun. Makanya konstitusi menjamin kebebasan sipil seperti bebas menyatakan pendapat, berserikat maupun berkumpul. Sepanjang aturan dipenuhi maka semua warga negara bebas juga untuk memilih atupun dipilih.
Momentum “merdeka” ini belum banyak dimanfaatkan. Ada saja cara untuk membelenggu kemerdekaan sipil itu. UU pemilihan melarang pemilih untuk menerima uang, hadiah atau imbalan lain dari calon. Aturan ini bermaksud agar kedaulatan rakyat tidak boleh terbelenggu atau diintervensi oleh siapapun. Uang bisa mengubah ketetapan hati seseorang. Meski calonnya memiliki kemampuan dibawah standar, namun tak ada alasan lain untuk tidak memilih karena kedaulatannya telah dibeli. Ia tidak merdeka lagi, karena uang bisa membelenggu kebebasannya.
Politik intimidasi seperti selalu melahirkan pemimpin yang tidak manusiawi. Sebab cara-cara menang dengan membujuk pemilih dengan uang adalah tindakan yang tidak manusiawi.
UU ternyata tidak cukup efektif menjaga kemerdekaan warga negara dalam menentukan pilihan. Kita perlu mengetuk hati para aktor-aktor politik di negeri ini. Menyuap atau menyogok pemilih untuk kepentingan kekuasaan, sama artinya membelenggu mereka dari kebebasan.
Jangan memposisikan diri sebagai koloni-koloni politik baru. Jika moral masih dihargai di negeri ini, berikanlah mereka kemerdekaan untuk memilih siapa yang dikehendakinya.